Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Dugderan, Tradisi Sambut Ramadhan di Kota Semarang

Kompas.com - 27/03/2022, 09:03 WIB
Ulfa Arieza ,
Nabilla Tashandra

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kota Semarang memiliki tradisi unik dalam menyambut bulan suci Ramadhan, yakni dengan menggelar dugderan. Acara ini merupakan tradisi turun temurun yang masih dilestarikan hingga saat ini.

Dugderan bukan sekadar perayaan semata, namun sarat makna dan sejarah. Berikut fakta-fakta dugderan di Kota Semarang yang telah dirangkum oleh Kompas.com.

Baca juga: 12 Tradisi Jelang Ramadhan di Indonesia, Padusan sampai Nyadran

Sejarah dugderan

Apa itu dugderan?

Asal mula tradisi dugderan diperkirakan pada masa kepemimpinan Bupati Kyai Raden Mas Tumenggung Purbaningrat atau Bupati Purbaningrat pada 1881, seperti dikutip dari situs Center Of Excellence (CoE) Budaya Jawa, perpustakaan dan informasi tentang budaya lokal Jawa Tengah (14/12/2016).

Latar belakang acara ini adalah perbedaan pendapat dalam masyarakat mengenai awal bulan suci Ramadhan.

Kala itu, Indonesia masih berada pada zaman kolonial Belanda, sehingga masyarakat Kota Semarang terbagi menjadi empat golongan, yaitu pecinan (etnis Tionghoa), pakojan (etnis Arab), kampung Melayu (warga perantauan dari luar Jawa), dan orang Jawa asli.

Baca juga:

Oleh sebab itu, pemerintahan Bupati Purbaningrat menetapkan, untuk menyamakan persepsi penentuan awal Ramadhan dilakukan dengan menabuh bedug di Masjid Agung Kauman serta menyalakan meriam di halaman kabupaten.

Baik bedug dan meriam dibunyikan masing-masing tiga kali, kemudian dilanjutkan dengan pengumuman awal bulan Ramadhan di masjid. Saat itu, perayaan dugderan berpusat di Masjid Agung Semarang atau Masjid Besar Semarang (kini Masjid Kauman) yang berada di dekat Pasar Johar.

Makna dan tujuan dugderan

Simbol Warak Ngendok diarak dalam dalam kegiatan Dugderan menjelang bulan Ramadhan di Kota Semarang, Sabtu (4/5/2019)KOMPAS.com/NAZAR NURDIN Simbol Warak Ngendok diarak dalam dalam kegiatan Dugderan menjelang bulan Ramadhan di Kota Semarang, Sabtu (4/5/2019)

Berdasarkan informasi dari situs Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kota Semarang (24/02/2020), nama dugderan diambil dari suara bedug yang berbunyi ‘dug dug dug’ dan suara meriam yakni ‘der der der’.

Seperti disampaikan sebelumnya, bedug dan meriam tersebut dibunyikan masing-masing tiga kali, sebagai penanda awal bulan Ramadhan.

Tujuan dari penyelenggaraan dugderan adalah melebur perbedaan yang terjadi antarwarga Kota Semarang pada zaman kolonial. Secara khusus, Bupati Purbaningrat ingin menyamakan persepsi masyarakat dalam menentukan awal bulan Ramadan.

Baca juga: 8 Perbedaan Suasana Ramadhan di Turki dan Indonesia Selama Pandemi

Hingga saat ini, tradisi dugderan masih menjadi alat pemersatu antarwarga Semarang. Banyak warga turun ke jalan pada saat perayaan untuk berbaur, tegur sapa, dan saling menghormati sesama tanpa memandang perbedaan.

Perayaan dugderan

Sebelum pandemi Covid-19, perayaan dugderan diselenggarakan secara meriah sekaligus sakral. Berdasarkan informasi dari situs PPID Kota Semarang, acara dimulai di Balai Kota Semarang.

Baca juga: Mengenal Kicak, Sajian Khas Ramadhan dari Kampung Kauman Yogyakarta

Walikota Semarang memimpin langsung acara tersebut lengkap dengan busana adat Jawa Tengah. Pembukaan acara dugderan diawali dengan upacara dan penampilan para penari.

Penampilan para penari disusul oleh atraksi warak ngendog. Selanjutnya, rombongan penari, atraksi warak ngendog, dan para warga mengikuti karnaval dengan berjalan kaki menuju Masjid Kauman Semarang, yang merupakan masjid tertua di Kota Atlas.

Di Masjid Kauman, Gubernur Provinsi Jawa sudah menanti kedatangan Walikota beserta rombongan karnaval.

Selanjutnya, Gubernur Jawa Tengah dan Walikota Semarang menyampaikan pidato serta ucapan selamat menunaikan ibadah puasa dalam bahasa Jawa.

Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi memukul bedug dimulainya tradisi dugderan, Kamis (25/5/2017). KOMPAS.com/NAZAR NURDIN Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi memukul bedug dimulainya tradisi dugderan, Kamis (25/5/2017).

Dalam beberapa kesempatan, dugderan juga diselenggarakan di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Berdasarkan informasi dari Portal Resmi Provinsi Jawa Tengah, perayaan dugderan 1440 hijriah bertepatan dengan 2018, berlangsung di MAJT.

Baca juga: Pengalaman Puasa di Jepang, Tarawih Bergantian sampai Bukber Online

Saat itu, Walikota Semarang Hendrar Prihadi melakukan halaqah atau diskusi dengan ulama di Masjid Agung Kauman untuk menetapkan awal pelaksanaan ibadah puasa.

Hasil halaqah kemudian diarak bersama dengan warga Semarang dari Masjid Agung Kauman menuju MAJT, untuk diserahkan kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Selanjutnya, Ganjar mengumumkan hasil halaqah tersebut kepada masyarakat sebagai penanda awal bulan suci Ramadhan.

Menutup pengumuman, Ganjar lantas memukul bedug di MAJT secara berulang-ulang, yang diikuti bunyi petasan. Sorak sorai dan tepuk tangan masyarakat langsung menggema di pelataran masjid berpayung raksasa itu.

Baca juga: Saat Ramadhan, Masjidil Haram dan Kakbah Diberi Parfum 10 Kali Sehari

Warak ngendhog

Salah satu ikon dalam acara dugderan adalah warak ngendhog. Mengutip situs situs Perpustakaan dan Informasi Tentang Budaya Lokal Jawa Tengah (14/12/2016), warak ngendog adalah mainan anak-anak yang dulu sangat populer di Kota Semarang dan sekitarnya.

Bentuk fisik warak ngendog mewakili suku-suku yang hidup di Kota Semarang, meliputi Jawa, Tionghoa, dan Arab. Unsur suku Jawa diwakili oleh postur warak yang menyerupai kambing.

Sementara, unsur etnis Tionghoa yakni kepala warak yang mirip dengan naga. Sedangkan, unsur suku Arab diwakili dengan bulu-bulu warak.

Baca juga:

Warak ngendog hanyalah makhluk rekaan yang merupakan simbol persatuan dari berbagai etnis di Kota Semarang tersebut. Sementara itu, nama ngendog adalah bahasa Jawa yang berarti bertelur.

Hal ini menyimbolkan pahala yang didapat seseorang setelah menjalani proses penyucian. Secara harfiah, warak ngendog bisa diartikan sebagai individu yang menjaga kesucian di bulan Ramadhan, kelak akan mendapatkan pahala di hari Lebaran.

Dugderan 2022

Lantas, bagaimana perayaan dugderan tahun ini? Berdasarkan informasi dari Tribun Jateng (8/03/2022), tradisi dugderan tetap akan digelar pada tiga atau dua hari sebelum Ramadhan tiba.

Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi mengatakan, Pemerintah Kota Semarang belum berani membuat event atau kegiatan secara spektakuler. Namun, dugderan akan tetap digelar karena sudah menjadi budaya masyarakat Kota Semarang.

Baca juga:

Serupa dengan tahun lalu, dugderan akan digelar secara sederhana untuk mencegah penularan Covid-19. Selain itu, semua warga yang datang harus menerapkan protokol kesehatan ketat. 

"Beberapa kawan OPD menanyakan ke saya terkait dugderan. Kalau lihat kondisi hari ini, dugder akan tetap diadakan tapi belum semeriah seperti tahun-tahun sebelum ada Covid-19," terang Hendi, seperti dikutip Kompas.com dari Tribun Jateng.

Terkait konsep acara, Hendi belum dapat membeberkan secara detail. Hanya saja, konsepnya tentu tidak jauh berbeda dengan dugderan tahun lalu yang digelar secara sederhana.

Rencananya, dugderan tahun ini akan dipusatkan di dua titik yaitu halaman Balaikota Semarang dan di Kauman. Sementara pelaksaan dugderan di MAJT, masih menunggu petunjuk Gubernur Jawa Tengah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com