Saat ini dalam sehari ia bisa menjual sekitar lebih dari 50 porsi.
"Sebelum pandemi lebih banyak, satu ketupat itu bisa 5 sampai 10 porsi, sekarang biasanya abah masak 20 ketupat tapi belum tentu habis, kalau agak sepi kadang cuma bawa 5 ketupat aja," katanya.
Harga kedelai yang naik juga sempat memengaruhi jualannya. Tidak jarang kondisi tersebut membuat pembeli hanya membeli kuah orem-orem.
Lebih lanjut, untuk proses masaknya sendiri, biasanya ayahnya, Muhammad Syahri, mulai sekitar pukul 06.00 WIB. Sebelumnya, setelah subuh, ia belanja kebutuhan bahan-bahan yang diperlukan di pasar.
"Selesai masak sekitar jam 8 (WIB), baru buka disini sekitar jam 9 pagi sampai jam setengah 4 sore," katanya.
Baca juga:
Yusli menjelaskan, warungnya itu ramai dikunjungi wisatawan dari luar daerah saat sebelum pandemi. Tidak jarang juga ada wisatawan mancanegara yang ingin menyicipi orem-orem.
"Sebelum pandemi, pernah itu ramainya Kampung Warna-Warni (Jodipan), ada relasi travel bawa tamu dari Kanada sama orang Hong Kong pernah, tapi sekarang yang wisatawan bule udah enggak pernah sejak pandemi, ya sepi," ungkapnya.
Terkadang para perantau juga sering datang ke warungnya karena rindu menyantap orem-orem.
"Orang Malang perantau kadang sering cari orem-orem, katanya kangen biasanya menjelang bulan puasa," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.