Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wisata ke Kota Malang, Tidak Lengkap Kalau Belum Cicipi Orem-orem

Kompas.com - 28/03/2022, 16:28 WIB
Nugraha Perdana,
Ni Nyoman Wira Widyanti

Tim Redaksi

MALANG, KOMPAS.com - Rasanya belum lengkap bila ke Kota Malang, Jawa Timur, tanpa mencoba makanan tradisional bernama orem-orem

Sekilas, rasa hidangan dengan kuah santan ini mengingatkan akan sayur lodeh. Bedanya, potongan tempe khas Malang, taoge, dan kupat wajib ada di orem-orem.

Yang membuat orem-orem unik adalah cara masaknya yang menggunakan arang, sehingga bara api mempertahankan aroma bumbu dasarnya.

Baca juga:

Adapun orem-orem sendiri memiliki arti "ora mangan ora marem", atau kalau tidak makan tidak kenyang.

Wisatawan yang ingin mencoba orem-orem bisa berkunjung ke salah satu warung, yakni Abah Syahri di pinggir Jalan Gatot Subroto.

Jaraknya dari Kampung Warna-Warni Jodipan cukup dekat, sekitar 500 meter dengan waktu berjalan kaki selama 10 menit. 

Salah satu penjual, Yusli Bahtiar (36), mengatakan bahwa usahanya itu merupakan generasi kedua dari orangtuanya. Resepnya bersumber dari kakak ipar ayahnya bernama Tikmanan asal Singosari, Kabupaten Malang.

"Ini resep keluarga, mulai ada tahun 1969, dulu jualannya di Comboran, sekarang juga ada di sana sama Singosari juga, kalau abah saya sempat keliling juga terus di sini," kata Yusli. 

Baca juga: Itinerary Wisata Malang 1 Hari, Bisa Cicip Kuliner Legendaris

Pembeli cukup merogoh kocek sebesar Rp 8.000 saja untuk menikmati satu porsi orem-orem. Selain itu, mereka juga bisa menambah lauk pauk, di antaranya ayam pedas, perkedel, ceker pedas, dan tempe mendol.

Terdampak pandemi Covid-19 dan kenaikan harga kedelai

Makanan khas tradisional Malang yakni Orem-Orem yang ada di warung Abah Syahri pinggir Jalan Gatot Subroto.KOMPAS.COM/Nugraha Perdana Makanan khas tradisional Malang yakni Orem-Orem yang ada di warung Abah Syahri pinggir Jalan Gatot Subroto.

Saat ini dalam sehari ia bisa menjual sekitar lebih dari 50 porsi.

"Sebelum pandemi lebih banyak, satu ketupat itu bisa 5 sampai 10 porsi, sekarang biasanya abah masak 20 ketupat tapi belum tentu habis, kalau agak sepi kadang cuma bawa 5 ketupat aja," katanya.

Harga kedelai yang naik juga sempat memengaruhi jualannya. Tidak jarang kondisi tersebut membuat pembeli hanya membeli kuah orem-orem.

Lebih lanjut, untuk proses masaknya sendiri, biasanya ayahnya, Muhammad Syahri, mulai sekitar pukul 06.00 WIB. Sebelumnya, setelah subuh, ia belanja kebutuhan bahan-bahan yang diperlukan di pasar.

"Selesai masak sekitar jam 8 (WIB), baru buka disini sekitar jam 9 pagi sampai jam setengah 4 sore," katanya.

Baca juga:

Yusli menjelaskan, warungnya itu ramai dikunjungi wisatawan dari luar daerah saat sebelum pandemi. Tidak jarang juga ada wisatawan mancanegara yang ingin menyicipi orem-orem.

"Sebelum pandemi, pernah itu ramainya Kampung Warna-Warni (Jodipan), ada relasi travel bawa tamu dari Kanada sama orang Hong Kong pernah, tapi sekarang yang wisatawan bule udah enggak pernah sejak pandemi, ya sepi," ungkapnya.

Terkadang para perantau juga sering datang ke warungnya karena rindu menyantap orem-orem.

"Orang Malang perantau kadang sering cari orem-orem, katanya kangen biasanya menjelang bulan puasa," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com