Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

10 Negara Penyumbang Emisi Karbon Terbesar, Indonesia Kelima

Kompas.com - 03/04/2022, 22:08 WIB
Desi Intan Sari,
Nabilla Tashandra

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Perubahan iklim yang terjadi berkepanjangan membawa dampak yang begitu luas terhadap kehidupan manusia.

Penting pula untuk menengok jauh ke belakang. Sebab, jumlah akumulasi karbon dioksida (CO2) yang dilepaskan dari berbagai aktivitas manusia, bahkan sejak awal revolusi industri, erat kaitannya dengan situasi saat ini.

Dikutip Kompas.com dari data analisa Carbon Brief, Minggu (03/04/2022), secara total, manusia telah menghasilkan sekitar 2.500 miliar ton CO2 ke atmosfer, sejak 1850. Menyisakan kurang dari 500 miliar ton CO2 dari sisa anggaran karbon agar tetap berada di bawah 1,5 derajat Celcius dari pemanasan global.

Baca juga: 10 Negara Penghasil Emas Terbesar di Dunia, Ada Indonesia dan Rusia

Carbon Brief melihat secara historis tanggung jawab atas emisi CO2 selama periode 1850-2021.

Sebab, menurut wakil editor Carbon Brief, Dr Simon Evans kepada The Straits Times, ada korelasi kuat antara jumlah total CO2 yang dilepaskan oleh aktivitas manusia dan tingkat pemanasan di permukaan bumi saat ini.

Selain emisi dari bahan bakar fosil, analisa juga mencakup emisi CO2 dari penggunaan lahan dan kehutanan.

Analisa tersebut melihat total berdasarkan emisi CO2 teritorial, di mana emisi telah terjadi. Selain itu, analisa juga melihat dampak penghitungan emisi berbasis konsumsi untuk mencerminkan perdagangan barang dan jasa yang padat karbon.

CO2 bertahan selama berabad-abad di atmosfer. Semakin banyak yang dilepaskan, maka semakin banyak pula panas yang terperangkap. Artinya, emisi CO2 dari ratusan tahun lalu terus berkontribusi pada pemanasan planet bumi hingga hari ini.

Baca juga: Finlandia Jadi Negara Paling Bahagia 2022, Ini Peringkat Indonesia

Negara penyumbang emisi CO2 terbesar sejak 1850

Menurut analisa Carbon Brief, Amerika Serikat menjadi penyumbang emisi CO2 terbesar sejak 1850, yakni 509 miliar ton atau 20 persen dari total emisi secara global.

Di bawahnya ada China (11 persen), Rusia (7 persen), Brasil (5 persen), dan Indonesia (4 persen).

Dua negara yang disebut terakhir ada pada daftar ini sebagian besar karena deforestasi.

Sementara di urutan berikutnya secara berturut-turut adalah Jerman, India, Inggris, Jepang, dan Kanada.

Untuk Jerman, emisi kumulatif diakibatkan oleh industri energi yang bergantung pada batu bara, menggambarkan bagaimana sektor lahan di beberapa negara telah menjadi penyerap CO2 kumulatif.

Baca juga: 10 Negara Paling Bersih di Dunia, Ada Denmark dan Swiss

Ilustrasi deforestasi, penggundulan hutan. Hutan hujan di Kalimantan, dibabat untuk membuat jalan bagi perkebunan kelapa sawitSHUTTERSTOCK/Rich Carey Ilustrasi deforestasi, penggundulan hutan. Hutan hujan di Kalimantan, dibabat untuk membuat jalan bagi perkebunan kelapa sawit

Secara lengkap, berikut urutan negara penghasil emisi CO2 terbanyak selama 1850-2021:

1. Amerika Serikat (20,3 persen)

2. China (11,4 persen)

3. Rusia (6,9 persen)

4. Brasil (4,5 persen)

5. Indonesia (4,1 persen)

6. Jerman (3,5 persen)

7. India (3,4 persen)

8. Inggris (3 persen)

9. Jepang (2,7 persen)

10. Kanada (2,6 persen)

Baca juga:

Ilustrasi global warming.UNSPLASH/Chris LeBoutillier Ilustrasi global warming.

Pada akhir 2021, dunia secara kolektif menghabiskan sekitar 86 persen anggaran karbon untuk 50 persen kesempatan tetap di bawah 1,5 derajat Celcius.

Artinya, dengan tingkat emisi CO2 tahunan saat ini, anggaran karbon yang tersisa akan habis dalam waktu sekitar satu dekade, menempatkan dunia pada jalur menuju iklim ekstrem yang jauh lebih besar.

Baca juga:

Hasil analisa yang cukup mencolok adalah kontribusi sejarah dari penggunaan lahan dan kehutanan. Aktivitas tersebut menambah 786 miliar ton CO2 selama periode 1850-2021 atau hampir sepertiga dari total kumulatif.

Dua pertiga sisanya berasal dari bahan bakar fosil dan semen, dengan produksi semen saja menyumbang sekitar 7 persen dari emisi CO2.

"Menurut kami analisa ini menyoroti kebutuhan untuk mempertimbangkan penggunaan lahan dan emisi deforestasi, serta tidak hanya fokus pada emisi bahan bakar fosil," ungkap direktur dan editor Carbon Brief, Leo Hickman kepada The Straits Times.

Baca juga:

Data untuk analisa ini diambil dari daftar panjang berisi banyak sumber.

Untuk data fosil, misalnya, perkiraan emisi CO2 historis nasional dari bahan bakar fosil dan produksi semen, dikembangkan oleh Pusat Analisis Informasi Karbon Dioksida (CDIAC) di AS dan diadaptasi oleh Proyek Karbon Global.

Data CDIAC kini dipelihara dan diperbarui oleh Pusat Energi Appalachian di Universitas Negeri Appalachian, berlangung sejak 1750 hingga hari ini.

Sementara perkiraan CO2 fosil historis didasarkan pada metodologi yang dikembangkan pada 1984 dan sejak saat itu telah disempurnakan.

Secara umum, datanya menggunakan catatan produksi, perdagangan dan penggunaan bahan bakar fosil, serta perkiraan jumlah CO2 yang dilepaskan ketika batubara, minyak, atau gas dibakar dengan berat tertentu.

Laporan lengkap tentang analisa ini bisa dibaca di laman Carbon Brief.

Baca juga: 6 Konsep Bahagia di Beberapa Negara, Ada dari Jepang dan Swedia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com