KOMPAS.com - Aksi klitih di Yogyakarta kembali terjadi. Bahkan, baru-baru ini aksi kriminalitas tersebut kembali menelan korban.
Dikutip dari Kompas.com, Senin (4/4/2022), remaja asal Kebumen bernama Dafa Adzin Albasith tewas diduga karena sabetan gir anggota klitih.
Baca juga: 8 Fakta Tewasnya Anak Anggota DPRD Kebumen karena Klitih di Yogya
Peristiwa nahas tersebut terjadi pada dini hari, saat Dafa dan teman-temannya hendak mencari makan sahur. Dalam perjalanan rombongan Dafa bertemu dengan klitih.
Meskipun identik dengan tindakan kriminal, makna asli klitih berbanding terbalik dari penafsirannya saat ini. Apa itu klitih? Berikut makna asli dan asal-usulnya.
Baca juga: 6 Tips Hindari Klitih Saat Wisata di Yogyakarta
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sujito menuturkan, makna asli istilah klitih adalah kegiatan keluar rumah di malam hari untuk menghilangkan kepenatan.
“Klitih dulu sebetulnya hanya aktivitas orang keluar malam mencari kegiatan untuk mengatasi kepenatan,” terangnya saat dihubungi Kompas.com (5/4/2022).
Senada, sosiolog UGM Sunyoto Usman juga menyatakan bahwa makna klitih adalah mengisi waktu luang. Tak ada konotasi negatif pada makna asli klitih.
“Dulu klitih hanya bermakna mengisi waktu luang, seperti tanda kutip tidak ada pekerjaan kemudian nglitih,” terangnya.
Baca juga: Dosen UGM Jelaskan Sejumlah Upaya untuk Menangani Klitih di Yogyakarta
Dikutip dari Kompas.com (29/12/2021), asal kata klitih adalah bentuk kata ulang yaitu klithah-klithih yang bermakna jalan bolak-balik agak kebingungan.
Hal itu merujuk pada Kamus Bahasa Jawa SA Mangunsuwito, seperti diberitakan di Harian Kompas (18/12/2016).
Pakar bahasa Jawa sekaligus Guru Besar Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Pranowo menjelaskan, klithah-klithih masuk kategori dwilingga salin suara, atau kata ulang berubah bunyi.
Contoh kata serupa dalam bahasa Indonesia, seperti pontang-panting dan mondar-mandir. Serupa, Pranowo mengartikan klithah-klithih sebagai keluyuran yang tak jelas arah.
”Dulu, kata klithah-klithih sama sekali tidak ada unsur negatif, tapi sekarang dipakai untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan dan kriminalitas. Katanya pun hanya dipakai sebagian, menjadi klithih atau nglithih yang maknanya cenderung negatif,” kata Pranowo, dikutip dari Kompas.com.
Baca juga: Viral Aksi Klitih, Yogyakarta Masih Aman untuk Wisatawan
Saat ini, istilah klitih telah mengalami pergeseran kepada hal negatif yakni tindakan kriminalitas dan anarkistis. Pada banyak kasus yang ditemukan di Yogyakarta, klitih justru dilakukan oleh remaja, seperti dikutip Kompas.com (29/12/2021).
“Klitih perlahan mengalami pemburukan makna, ketika diidentikkan dengan tindakan kejahatan, krimanalitas, entah itu dengan berbagai alasan tidak jelas,” kata Arie.
Baca juga: 13 Tempat Ngabuburit di Yogyakarta, Tunggu Waktu Buka Sambil Berfoto
Ia menuturkan, aksi klitih ini merupakan bentuk disorientasi pada remaja. Misalnya, remaja yang memiliki permasalahan di keluarga, mempunyai beban di sekolah, mendapat stigma buruk di lingkungan dan komunitas, memiliki ruang ekspresi terbatas, dan lainnya.
Sunyoto menambahkan, klitih saat ini juga menjadi simbol geng (kelompok). Orang yang menjadi anggota kelompok otomatis memperoleh identitas bagian dari kelompok klitih tersebut.
“Jadi, untuk mengikat identitas, kalau gabung klitih kemudian punya jaringan kawan, merasa mendapat perlindungan dari jaringan itu. Saya kira itu maknanya sekarang,” tuturnya.
Ia menuturkan, ada tiga penyebab aksi klitih masih terjadi. Pertama, kegagalan masyarakat dalam memberikan kontrol pada pelaku aksi klitih.
Kedua, pemerintah dianggap kurang intensif dalam melakukan pencegahan. Sementara ketiga, peran media sosial turut memperluas ruang untuk saling komunikasi antaranggota kelompok klitih.
Baca juga: 4 Tips agar Tidak Kena Tipu Saat Wisata di Malioboro Yogyakarta
Terlepas dari pergeseran makna tersebut, para sosiolog sepakat bahwa aksi klitih membutuhkan tindakan tegas. Klitih tidak bisa dianggap sepele karena telah banyak menelan korban dan meresahkan masyarakat.
Arie menuturkan, memberantas klitih hingga ke akarnya tidak bisa hanya melalui pendekatan hukum.
Baca juga: 4 Tips Aman Bawa Uang Tunai Saat Liburan
Lebih dari itu, dibutuhkan pendekatan psikologis dengan melibatkan pihak-pihak yang memiliki peran penting, antara lain keluarga, guru di sekolah, lingkungan, dan komunitas.
“Fenomena klitih di Yogyakarta ini tidak bisa dianggap sepele,” imbuhnya.
Selain itu, ia juga menyarankan agar pemerintah daerah mengambil langkah proaktif berkolaborasi dengan pihak-pihak terkait guna mengantisipasi aksi klitih.
Sebab, aksi klitih ini tidak bisa dihilangkan hanya dengan imbauan dan tindakan hukum.
“Pemerintah daerah tidak bisa sekadar statement dan imbauan, tetapi juga harus proaktif berkolabrasi dengan aparat kepolisian, pihak sekolah, untuk melakukan pencegahan dan memberikan literasi kepada remaja,” katanya.
Baca juga: 7 Masjid Unik di Yogyakarta, Ada yang Usianya 249 Tahun
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.