Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Ramadhan dari Belanda, Puasa yang Panjang dan Rindu Berburu Takjil

Kompas.com - 13/04/2022, 17:51 WIB
Wasti Samaria Simangunsong ,
Ni Nyoman Wira Widyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Bulan Ramadhan punya cerita sendiri, khususnya bagi mereka yang menjalankan ibadah di negara dengan mayoritas penduduk non-muslim.

Salah satunya adalah cerita berikut, dari seorang warga negara Indonesia (WNI) yang tengah menempuh pendidikan S3-nya di Belanda.

Rucitarahma Ristiawan, yang akrab disapa Awang, mengatakan bahwa tahun ini adalah Ramadhan ketiga yang ia jalani berjauhan dengan keluarga di Yogyakarta.

Meski tak begitu berat, namun durasi berpuasa di Belanda nyatanya lebih lama dibanding saat berpuasa di Tanah Air.

Baca juga: Tantangan Puasa di Swiss, Sulit Cari Makanan Halal dan Masjid 

"Pada dasarnya, puasa di sini enggak terlalu berat, cuma nambah beberapa jam saja dari Indonesia, tapi waktu untuk memulai puasanya tentatif," kata Awang kepada Kompas.com, Selasa (5/4/2022).

Ia menjelaskan, sekitar jam 04.00-04.30 subuh waktu setempat, adalah waktu untuk sahur, sedangkan waktu berbuka sekitar pukul 20.30 waktu setempat.

"Tapi semakin menuju akhir April, semakin telat juga buka puasanya, bisa pukul 21.15-21.30 nanti," tambahnya.

Baca juga: Pengalaman WNI Puasa di China Saat Pembatasan Covid-19, Masjid Tutup  

Salat tarawih di Belanda dan pernah batal puasa

Ilustrasi Belanda - Pemandangan di Amsterdam, Belanda.Photo by Tim Trad on Unsplash Ilustrasi Belanda - Pemandangan di Amsterdam, Belanda.

Salat tarawih di Negeri Kincir Angin baru mulai antara pukul 22.30 hingga 23.00, atau hampir tengah malam waktu setempat. Oleh sebab itu, Awang mengatakan bahwa dirinya tidak pernah ikut tarawih di masjid.

"Kalau untuk tarawih baru mulai jam 22.30-23.00, cuma saya sendiri enggak pernah ikut tarawih karena waktunya terlalu malam," tuturnya. 

Lantaran siang hari ia cukup lemas, maka ia gunakan waktu pada malam hari untuk lebih produktif, termasuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas kuliah.

Saat ditanya kendala atau tantangan yang paling berat, mahasiswa S3 program studi Cultural Geography ini merasa hampir tak ada yang berarti, bila dari sisi berpuasa itu sendiri.

Namun, ia bercerita, sekitar dua tahun lalu, pernah melewatkan puasa satu hari, karena ketiduran dan tidak sahur, sementara siangnya ada cukup banyak agenda.

"Yang jadi risiko itu, karena buka puasanya malam, sekitar jam 22.00 atau jam 22.30, jadi dua tahun lalu sempat ketiduran, dan bangunnya udah pagi, jadi saya skip enggak puasa," katanya sambil tertawa kecil.

Baca juga: Puasa di Swiss, 16 Jam Tanpa Kumandang Azan Maghrib 

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com