Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tengge dan Deng, Warisan Leluhur di Manggarai NTT yang Terus Dilestarikan

Kompas.com - 16/04/2022, 14:42 WIB
Markus Makur,
Anggara Wikan Prasetya

Tim Redaksi

BORONG, KOMPAS.com - Leluhur orang Manggarai Raya, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki warisan asli.

Warisan budaya itu berkaitan dengan tata krama dan sopan santun saat melakukan upacara ritual adat, upacara kampung, dan saat bertamu di rumah keluarga.

Sebelum mengenal produk modern celana pendek dan celana panjang, orang Manggarai memiliki warisan yang terus dilestarikan.

Baca juga: Pantai Mbolata di Manggarai Timur, Lihat Indahnya Gunung Komba dan Inerie

Warisan budaya itu yakni budaya Tengge dan Deng saat mengenakan pakaian adat maupun pakaian sehari-hari.

Budaya itu dienkulturasi dalam perayaan pembasuhan kaki dua belas Rasul pada perayaan Kamis Putih. Sebanyak 12 Rasul mengenakan tengge saat mengenal ritus pembasuhan kaki oleh Tuhan Yesus.

Seperti perayaan Kamis Putih, 14 April 2022 di Gereja Paroki Santo Arnoldus Jansen dan Josef Freinademetz Waelengga, Kevikepan Borong, Keuskupan Ruteng, Nusa Tenggara Timur.

Baca juga: Goa Alam di Manggarai Timur, Tidak Kalah Indah dari Goa Pindul Yogyakarta

Sebanyak 12 Rasul mengenakan lipa songke, kain songke dengan budaya Tengge dipadukan dengan topi songke di bagian kepala serta memakai baju kemeja putih.

Dosen Universitas Katolik Santo Paulus Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT Adi M Nggoro kepara Kompas.com, Jumat (15/4/2022) menjelaskan, dari judul ini dapat dibedah dua hal pokok, tradisi deng oleh perempuan dan tradisi tengge yang dilakukan laki-laki.

Namun spesifikasi kajian ini adalah implementasi enkulturasi budaya tengge dalam Misa Kamis Putih oleh 12 Rasul.

Budaya Deng dan Tengge di Manggarai

Pertama, Deng adalah pengenaan kain sarung (towe songke atau lipa songke) oleh Perempuan Manggarai yang menutupi setengah badan ke bawah mulai perut (di atas pusar: eta mai putes) sampai sejajar tumit. Deng selalu berbarengan dengan baju kebaya yang lengan panjang.

"Deng untuk kebiasaan sehari-hari pada umumnya digunakan oleh perempuan remaja, dewasa dan orang tua. Namun, dapat juga digunakan perempuan pada umumnya mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua dalam acara adat, sanggar budaya," ujar Nggoro.

Ibu-ibu dengan Deng Kain Songke dalam sebuah upacara adat.KOMPAS.com/MARKUS MAKUR Ibu-ibu dengan Deng Kain Songke dalam sebuah upacara adat.

Sementara itu, Tengge adalah pengenaan kain sarung (towe songke atau lipa songke atau towe tokong) oleh laki-laki Manggarai yang menutupi setengah badan ke bawah mulai dari perut atau pinggang di atas pusar (eta mai putes) sampai sejajar tumit.

Tengge selalu berbarengan dengan baju kemeja atau kaos lengan pendek atau lengan panjang. Tengge untuk kebiasaan sehari-hari pada umumnya digunakan oleh laki-laki remaja, dewasa sampai orang tua.

"Tengge bisa digunakan oleh laki-laki pada umumnya, baik oleh anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua pada waktu acara adat, sanggar budaya, pesta Enkulturasi budaya khususnya pada acara basuh kaki 12 Rasul dalam Misa Kamis Putih sebagai bagian perayaan Tri Hari Suci," sambung Nggoro.

Enkulturasi budaya Deng dan Tengge

Dalam acara membasuh kaki 12 Rasul oleh Yesus, sambung Nggoro, peran Rasul yang dipilih waktu Misa Kamis Putih semuanya adalah berjenis kelamin laki-laki dewasa, atau orang tua, sehingga menggunakan Tengge sebagai enkulturasi budaya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com