JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah pembatasan perjalanan selama dua tahun akibat pandemi Covid-19, muncul fenomena baru dalam pariwisata yakni istilah yang disebut dengan revenge travel atau revenge tourism.
Seperti diketahui, selama dua tahun terakhir, masyarakat mengalami karantina, isolasi, pembatasan aktivitas sosial, larangan bepergian, dan penutupan negara dari wisatawan asing.
Beberapa hal tersebut dilakukan guna meminimalisir angka penyebaran virus.
Baca juga: 5 Tren dan Preferensi Pariwisata 2022 di Asia Tenggara
Oleh karena itu, keinginan berwisata banyak masyarakat yang sebelumnya tertahan, menjadi lebih besar saat pelonggaran dilakukan.
Seperti dikutip Kompas.com (04/08/2021), dari The Economic Times, revenge travel atau revenge tourism adalah fenomena yang terjadi saat masyarakat melakukan perjalanan atau berwisata ke luar rumah setelah menjalani isolasi.
Sesuai namanya, fenomena ini disebut sebagai bentuk "balas dendam" dari orang-orang yang terpaksa menjalani isolasi, karantina, dan pembatasan karena kebijakan yang berlaku.
Data dari Travel Insights with Google menunjukkan beberapa karakteristik revenge traveler di Asia Tenggara, sejak dibukanya perbatasan negara-negara di kawasan tersebut.
“Revenge traveler saat ini mencari segala cara agar mereka dapat melakukan perjalanan yang berkualitas, sebagai pengganti sebelum-sebelumnya. Ini terlihat dari banyaknya pergerakan wisatawan di Asia Tenggara”.
Demikian disampaikan Asia Pacific Lead for Google, Hermione Joye, saat diskusi Southeast Asia Travel Roundtable 2022, pada Selasa (26/04/2022).
Baca juga: Bali Jadi Destinasi dengan Pertumbuhan Tercepat di Dunia Maret 2022
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.