Berbagai laporan berita tentang sampah tersebut tidak boleh dipandang sepele karena jika permasalahan sampah terus diabaikan, destinasi-destinasi wisata akan terus dibanjiri sampah, terutama di musim liburan. Dampaknya, pariwisata berkelanjutan akan semakin sulit diwujudkan di Indonesia.
Sebelum pandemi, jumlah sampah di Bali mencapai 4.281 ton setiap hari dan 1,5 juta ton setiap tahun, menurut penelitian dari Bali Partnership pada Januari-Mei 2019. Dari jumlah tersebut, 11 persen di antaranya mengalir ke laut.
Sekitar 60 persen dari total sampah di Bali berjenis sampah organik. Sisanya adalah sampah plastik (20 persen) dan sampah kertas (11 persen). Dari jumlah itu, 52 persen sampah belum dikelola dengan baik.
Tingginya produksi sampah yang terjadi sebelum masa pandemi tidak boleh terjadi lagi setelah pelonggaran syarat perjalanan.
Harus diupayakan agar momen kebangkitan industri pariwisata di Indonesia diikuti dengan pengembangan pariwisata berkelanjutan, bukan pariwisata konvensional.
Perlu diingat bahwa persoalan kebersihan dan ketahanan lingkungan yang selama ini menjadi kelemahan pariwisata Indonesia, menurut laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF) Daya Saing Pariwisata.
Dari segi ketahanan lingkungan, Indonesia berada di peringkat ke-135 di antara 140 negara. Indonesia berada di belakang Korea, Singapura, dan Malaysia, yang masing-masing berada di peringkat ke-27, 61, dan 105.
Sinergi dan kerja sama adalah kunci utama untuk mewujudkan pariwisata berkelanjutan. Salah satu contoh baik dari hasil kolaborasi ialah program kalkulasi jejak karbon, Carbon Footprint Calculation and Offsetting, yang merupakan hasil kerja sama pemerintah dengan Gojek dan Jejak.In.
Melalui program tersebut, masyarakat didorong untuk menghitung jejak emisi karbon yang mereka tinggalkan dari perjalanan yang mereka lakukan.
Penghitungannya menggunakan aplikasi Gojek. Emisi yang dihasilkan akan dikalkulasikan dan kemudian dikonversikan dalam nilai satuan pohon.
Pelaku perjalanan diajak menanam pohon melalui donasi yang mereka bisa salurkan dengan menggunakan aplikasi Gojek.
Berapa banyak pohon yang mereka harus tanam dan berapa besar donasi yang mereka harus keluarkan untuk pembelian bibit pohon disesuaikan dengan berapa besar emisi karbon yang mereka produksi selama perjalanan.
Program kalkulasi jejak karbon layak mendapat apresiasi karena berkontribusi dalam mengedukasi masyarakat bahwa perjalanan wisata juga menghasilkan polusi.
Pelaku perjalanan wisata seharusnya menyadari hal itu dan memitigasi dampaknya dengan menanam pohon.
Carbon Footprint Calculation and Offsetting adalah contoh baik kolaborasi, tetapi sayangnya inovasi ini belum disosialisasikan ke masyarakat secara maksimal dan belum diikuti dengan mekanisme penegakan aturan yang ketat dan tegas.