Jika dibandingkan dengan total penduduk yang diproyeksikan mencapai 4.362.700 jiwa di tahun yang sama, maka jangan heran kemacetan melanda akibat dari satu penduduk yang punya lebih dari satu kendaraan, meski di usia belia.
Perkara berikutnya pada fasilitas untuk pejalan kaki. Kita tentu masih bisa mengingat kejadian pada 2017, ketika aktor Nicholas Saputra menegur para turis pengendara sepeda motor yang berusaha menerobos langkah kakinya di jalur pedestrian.
Perilaku para turis tersebut jelas salah. Namun jika dicari gara-garanya, kita tak bisa mengelak bahwa mereka hanya meniru kebiasaan buruk yang kita lakukan di surga destinasi pariwisata ini saat menantang kemacetan.
Trotoar Bali telah gagal dan kita harus mengakuinya. Dari rangkuman oleh Tripadvisor, wilayah persawahan dan usaha privat mendominasi daftar area indah pejalan kaki.
Tak nampak rekomendasi untuk menikmati panorama sambil berjalan di trotoar kota. Trotoar Bali tak bisa dibilang ramah pejalan kaki.
Selain banyak dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima, banyak orang kaya yang tak bisa menyediakkan lahan parkir untuk koleksi mobilnya.
Selain itu berdiri tiang-tiang listrik, kondisi paving yang bobrok, hingga posisi trotoar yang buntung di tengah jalan, sementara sambungannya ada di jalan yang berseberangan dengan jalur sehingga harus melangkahi selokan untuk mencapainya.
Lantas, bagaimana nasib para penyandang disabilitas saat memanfaatkan trotoar?
Hal paling parah dalam skala internasional, Indonesia pernah mendapat predikat sebagai negara dengan peningkatan kecelakaan lalu lintas tertinggi oleh WHO.
Jumlah korban tewas akibat kecelakaan bahkan mencapai 120 jiwa setiap harinya. Di Bali, ada sekitar 2.077 kasus laka lantas per tahun jika dirata-ratakan selama tiga tahun sejak 2019.
Untuk mengatasi persoalan ini, pastinya pemerintah enggan berdiam diri. Apa lagi kalau kedatangan tamu acara kenegaraan. Forum G20, misalnya.
Segala upaya dari bongkar pasang trotoar hingga penataan taman dilakukan di sepanjang 22 kilometer jalan nasional. Anggarannya fantastis, sekitar Rp 200 miliar. Namun perihal realisasinya, kita bisa beri nilai sendiri.
Tingkat kemacetan lalu lintas di Bali sudah tahap akut. Sementara kita masih terbuai dengan hal-hal karnavalsentris dengan kedok estetika kacangan.
Macet jelas membawa petaka. Dampaknya beragam seperti pemborosan bahan bakar minyak di tengah harganya yang mahal.
Kemudian kandasnya produktivitas dalam pekerjaan, hingga lambannya perputaran perekonomian yang selama ini jadi impian.