KOMPAS.com - Masyarakat Jawa, khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Solo rutin memperingati malam satu Suro. Suro merupakan bulan pertama dalam penanggalan Jawa.
Tahun ini, satu Suro dalam penanggalan Jawa bertepatan dengan Sabtu, 30 Juli 2022. Peringatan malam satu Suro ini memiliki sejarah serta makna khusus.
Berikut adalah sejarah dan makna peringatan malam satu Suro seperti dihimpun Kompas.com
Baca juga: Begini Tradisi Bulan Suro atau 1 Muharram di Masyarakat Jawa dan Sunda
Dosen Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI) Dr. Sunu Wasono mengatakan perayaan malam satu Suro adalah peringatan awal tahun berdasarkan penanggalan Jawa atau pergantian tahun menurut kalender Jawa.
“Malam satu Suro itu malam pergantian tahun Jawa, itu detik-detik berakhirnya tahun lama dan masuknya tahun baru,” ujarnya kepada Kompas.com, Jumat (29/7/2022).
Baca juga: Kirab Malam 1 Suro, Tradisi Mengarak Kerbau Bule Keramat di Keraton Kasunanan Surakarta
Berdasarkan informasi dari situs Rumah Belajar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, peringatan malam satu Suro biasanya berlangsung pada malam hari setelah waktu Magrib, sehari sebelum tanggal satu Suro. Oleh sebab itu, dinamakan sebagai peringatan malam satu Suro.
Sebab, pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam pada hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.
Pengamat Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Prof. Dr. Bani Sudardi menambahkan, makna dari perayaan malam satu Suro ini adalah peringatan pergantian waktu. Peringatan pergantian waktu ini merupakan suatu lazim terjadi.
“Makna dari peringatan satu Suro ini adalah sebuah peringatan tentang pergantian waktu yang mana hal ini adalah sesuatu yang lazim dalam kebudayaan,” terangnya kepada Kompas.com, Jumat (29/7/2022).
“Sebab, waktu merupakan sesuatu yang sangat penting, yang berkaitan dengan siklus kehidupan, ritual, perhitungan-perhitungan, dan sebagainya,” imbuhnya.
Baca juga: Sekaten Solo Tahun 2022 Akan Digelar Lagi, Ada Pasar Malam di Alun-alun
View this post on Instagram
Peringatan malam satu Suro sangat lekat dengan budaya Jawa yang masih dilestarikan hingga saat ini, berdasarkan informasi dari laman Rumah Belajar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Misalnya di Solo, malam satu Suro diperingati dengan tradisi arak-arakan atau kirab hewan kerbau, yang bernama kebo bule atau Kebo Kiai Slamet. Kebo bule bukan sembarang, karena hewan ini termasuk pusaka penting milik Keraton Surakarta Hadiningrat.
Selain Solo, Keraton Yogyakarta juga memiliki ritual malam satu Suro. Bedanya, kirab malam satu Suro di Keraton Yogyakarta membawa gunungan tumpeng, keris, dan benda pusaka lain.
Bani Sudardi menjelaskan, sejarah peringatan malam satu Suro dimulai pada abad ke-17 tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kerajaan Mataram. Kala itu, sultan mengubah penanggalan Saka, yang merupakan penanggalan Hindu, menjadi penanggalan Jawa.
Selain dari penanggalan Saka, penanggalan Jawa ini juga mengadopsi kalender Islam sehingga memiliki persamaan pada permulaan awal tahun.
“Pada waktu itu Sultan Agung Hanyokrokusumo membuat suatu reformasi kebudayan, yaitu dengan cara mengubah tahun Saka dengan tahun Jawa, yang mana tahun Jawa ini mengadopsi tahun Islam,” terangnya.
Baca juga: Delegasi G20 Bakal Hadir di Kirab Budaya Solo Batik Carnival 2022
Nama satu Suro sendiri, lanjutnya, diambil dari bahasa Arab yakni asy-syura yang berarti tanggal 10. Oleh sebab itu, sebetulnya hari yang penting dalam kebudayaan Jawa adalah tanggal 10 Suro yang yang bertepatan dengan 10 Muharram dalam kalender Islam.
“Karena menurut kepercayaan agama Islam, tanggal 10 Muharrram ini adalah suatu hari penuh keberkahan dan kemenangan bagi umat Islam,” jelasnya.
Namun, peringatan justru digelar pada malam satu Suro alih-alih malam sepuluh Suro. Menurut Bani, hal tersebut merupakan bentuk persimpangan budaya karena masyarakat Jawa awalnya menganut penanggalan Saka.
Oleh sebab itu, masih dijumpai sejumlah ritual termasuk kirab malam satu Suro.
Baca juga: Mengenal Lebih Jauh Tradisi Khas Keraton Surakarta, Kirab Kebo Bule
“Pada tahun Saka itu masyarakat mengadakan suatu tirakat atau semedi, sehingga hari ini juga masih dilakukan oleh orang Jawa khususnya orang yang ingin melestarikan ajaran Jawa, yaitu pada malam satu Suro itu melakukan semedi, tirakat, atau laku prihatin,” terangnya.
Serupa, situs Rumah Belajar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga mengungkapkan bahwa kalender Jawa pertama kali diterbitkan oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo. Kalender Jawa ini mengacu pada penanggalan Hijriah.
Kala itu, Sultan Agung menginginkan persatuan rakyat untuk menggempur pasukan Belanda di Batavia (saat ini Jakarta). Oleh sebab itu, agar rakyat tidak terbelah, utamanya karena keyakinan agama, maka Sultan Agung Hanyokrokusumo memadukan penanggalan Islam dan Saka menjadi kalender Jawa.
Baca juga: Peringati Idul Adha 2022, Keraton Solo Gelar Kirab HajadDalem Garebeg Besar Alip 1955
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.