Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ferdy Hasiman
Peneliti

Peneliti di Alpha Research Database. Menulis Buku Freeport: Bisnis Orang Kuat Vs Kedaulatan Negara, Gramedia 2019. dan Monster Tambang, JPIC-OFM 2013.

Mempersoalkan Skema Bisnis PT Flobamor di Taman Nasional Komodo

Kompas.com - 03/08/2022, 08:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PARA pelaku pariwisata skala kecil dan masyarakat sipil di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi untuk menolak kebijakan kenaikan tarif masuk ke Taman Nasional Komodo (TNK) -khususnya pulau Komodo dan Padar- oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Tak tanggung-tanggung, KLHK dan Pemprov NTT menetapkan kenaikan tiket dari Rp 50.000  (wisatawan nusantara) dan Rp 150.000 (wisatawan mancanegara) menjadi Rp 3,75 juta untuk perseorangan dan Rp 15 juta per empat orang pengunjung. Kenaikan tiket yang sangat luar biasa itu memantik pro-kontra.

Bagi para penolak, kenaikan tiket dapat membunuh usaha kecil-menengah dan pelaku pariwisata lokal dan hanya menguntungkan kelas-kelas bisnis tertentu yang sudah mendapat izin pinjam pakai lahan di dalam kawasan TNK. Beberapa perusahaan itu, seperti PT Syinergindo Niagatama (17 ha), PT Komodo Wildlife (151 ha) dan PT Flobamor (BUMD milik Provinsi NTT) dan mitranya.

Baca juga: Demo Tolak Kenaikan Harga Tiket TN Komodo di Labuan Bajo, Sejumlah Warga Terluka

Bukan hanya itu, kenaikan tiket akan diikuti dengan pembangunan masif dalam kawasan TNK dan warga yang sudah ratusan tahun hidup berdampingan dengan komodo harus minggir dari tanah tempat mereka lahir.

Sementara bagi pemerintah provinsi dan KLHK, kenaikan tiket masuk ke TNK dan Padar dalam rangka membatasi jumlah pengunjung demi menjaga ekosistem komodo. Berdasarkan data Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) KLHK, daya tampung TNK setiap tahun hanya sebesar 292.000 pengunjung.

Kenaikan tiket juga dapat menambah devisa dan penerimaan daerah dan negara. Dana hasil kenaikan tiket masuk juga bertujuan untuk konservasi dalam TNK.

Alasan di atas tampak sangat mulia. Namun muncul kecurigaan bahwa kebijakan KLHK dan Pemprov NTT di pulau Komodo dan Pulau Padar disusupi kepentingan bisnis group-group besar di Jakarta yang bermitra dengan perusahaan milik provinsi, PT Flobamor.

PT Flobamor adalah badan usaha milik daerah (BUMD) milik Pemprov NTT dan mitranya dari pihak swasta. Perusahaan ini memiliki Izin Penguasaan Pariwisata Alam (IPPA) dan Izin Usaha Penyedia Sarana Wisata Alam (PSWA) di TNK. Jika kebijakan kenaikan tiket masuk berjalan, PT Flobamor yang memiliki peran mengatur tiket masuk ke kawasan TNK.

Dana bagi hasilnya pun kelihatan sangat tidak proporsional. Sebagai contoh, dari dana penjualan tiket masuk ke TNK untuk empat orang pengunjung yang sebesar Rp 15 juta, sebesar Rp 100.000 dialokasikan untuk Pemerintah Daerah Manggarai Barat, untuk Pemprov NTT sebesar Rp 100.000, untuk konservasi sebesar Rp 2 juta dan untuk PT Flobamor dan mitranya Rp 6 juta.

Jadi, alasan kenaikan tiket masuk untuk tujuan konservasi hanya efek samping saja, bukan tujuan utama. Buktinya, porsi bagi hasil yang paling besar justru diserahkan ke PT Flobamor dan mitranya.

PT Flobamor memonopoli

PT Flobamor bentukan pemerintahan provinsi itu belum memiliki bentuk fisiknya di TNK. Perusahaan itu menggunakan sistem online yang kontrolnya entah ada di provinsi atau Jakarta.

Namun, ekspansi bisnisnya sudah merambah ke mana-mana dan hampir mengontrol semua rantai jaringan bisnis pariwisata dari hulu (bandara, kapal, agen travel) sampai pengkaplingan ruang bisnis di kawasan pulau Komodo dan Padar.

Padahal, tujuan terbesar wisatawan ke Labuan Bajo adalah dua tempat yang tiketnya dinaikan secara signifikan itu. PT Flobamor sudah mencaplok ruang (lahan dan laut) yang akan menjadi mata pencaharian warga di sekitar TNK dan berbagai bisnis pariwisata di Labuan Bajo. Tak mengherankan jika banyak yang mengatakan perusahaan ini memonopoli bisnis pariwisata di Labuan Bajo.

Protes pelaku pariwisata dan masyarakat sipil di Labuan Bajo terhadap kebijakan tarif masuk ke Komodo dan Padar juga dialamatkan langsung kepada ekspansi bisnis PT Flobamor. Mereka protes karena perusahaan ini tampak sangat perkasa dengan menggunakan kekuatan negara.

Baca juga: Imbas Kenaikan Tiket Kawasan TN Komodo, HPI NTT Sebut 10.000 Wisatawan Batal Kunjungi Labuan Bajo

Ini sangat ironi. Bagaimana mungkin sebuah perusahaan daerah (representasi negara) hadir melakukan monopoli bisnis pariwisata dan ditopang regulasi ketat dari negara. Cara bisnisnya pun sangatlah modern, mengikuti trend start-up dan bisnis gaya baru, sehingga PT Flobamor itu hanya nama, karena sistemnya yang berjalan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com