Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Mengurai Makna "Over Tourism" yang Sesungguhnya

Kompas.com - 06/08/2022, 08:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Frangky Selamat*

ISTILAHover tourism” belakangan menjadi sering disebut terkait pemberitaan yang menyangkut destinasi super prioritas Candi Borobudur dan Taman Nasional Komodo.

Kedua destinasi ini dinyatakan telah mengalami over tourism sehingga perlu pembatasan jumlah wisatawan yang berkunjung.

Jika tidak dibatasi, maka bangunan candi Borobudur terancam rusak. Demikian pula komodo dibayangi kepunahan karena degradasi lingkungan yang terus-menerus terjadi.

Sesungguhnya over tourism berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Pembangunan berkelanjutan seperti dikemukakan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

Dengan kata lain, pembangunan di masa sekarang semestinya tidak melupakan generasi mendatang karena tetap menyediakan ruang yang cukup untuk keberlanjutan.

Pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) dengan tujuan “langit biru” merupakan pemulihan sederhana dari keadaan yang diinginkan namun melalui fakta yang menjengkelkan karena tidak ada seorang pun memiliki petunjuk bagaimana menuju ke sana (Rumelt, 2011).

Kondisi over tourism merupakan konsep yang lebih jelas, tetapi menghadirkan ancaman bagi pengembangan wisata yang berkelanjutan.

Menurut Borg dan kawan-kawan (1996) over tourism dapat didefinisikan secara lebih kuantitatif dalam hal daya dukung yang menunjukkan batas maksimum untuk pengembangan pariwisata.

Dalam istilah yang lebih sederhana Alexis (2017) menyatakan bahwa over tourism bisa diartikan sebagai kurangnya pengelolaan (manajemen) di dalam destinasi wisata.

Over tourism juga digambarkan sebagai gejala dari era kemakmuran dan mobilitas yang tinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya (Milano dkk, 2018).

Hal ini dibarengi seruan kepada pengelola destinasi untuk mengakui bahwa ada batas pasti untuk pertumbuhan dan proposal tentang bagaimana volume pengunjung dapat dioptimalkan untuk mencapai hasil yang lebih besar dalam hal manfaat ekonomi dan biaya sosial yang lebih rendah serta kerusakan lingkungan (Oklevik dkk, 2019).

Dampak bagi pemangku kepentingan

Over tourism memang identik dengan dampak buruk terhadap pariwisata berkelanjutan, namun tidak cukup objektif jika tidak melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder), yaitu pebisnis, penduduk, regulator, turis dan pecinta lingkungan.

Bagi pebisnis, terjadinya over tourism direspons dengan memperbesar penawaran dalam ruang dan waktu. Ledakan pariwisata mengarah pada produksi massal (Singh, 2017) dan membutuhkan peningkatan karyawan yang dipekerjakan, ruang sewa, jam operasi, dan lain-lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com