KOMPAS.com - Peminat wisata alam semakin meningkat pasca pemulihan pandemi Covid-19 belakangan ini.
Ini berarti semakin banyak pula orang yang berkumpul dan memanfaatkan sumber daya di alam. Sehingga, semakin besar pula potensi pencemaran lingkungan di sekitarnya.
Baca juga: Biaya Konservasi TN Komodo RP 3,75 Juta, Untuk Apa Saja?
Namun, sebenarnya, konservasi dan wisata alam bisa berjalan beriringan dengan sejumlah upaya dan kondisi.
"Saat ini, kegiatan jalan-jalan bisa juga dilakukan sambil kita mengupayakan pelestarian lingkungan,” ujar Direktur Wisata Minat Khusus Kemenparekraf Alexander Reyaan, dalam Indonesia Tourism & Business Event Forum yang digelar di JCC, Jakarta, Selasa (16/8/2022).
Salah satu contohnya yaitu aplikasi carbon footprint yang dapat menghitung perjalanan wisatawan, kemudian dikonversi menjadi jumlah tanaman atau biaya yang dibayarkan, sebagai pengganti jejak karbon.
Baca juga: Wisata di Kawasan Konservasi, Ini 4 Hal yang Perlu Diperhatikan
Senada, perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyampaikan bahwa konservasi bisa berdampingan dengan wisata alam.
"Konservasi sesuatu yang bersamaan dengan wisata alam ya, jika saja wisatawan, misalnya taman nasional dan lain-lain itu, mau mematuhi aturan-aturan yang ditetapkan oleh pengelola,” ujar Tri, perwakilan dari Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya alam dan Ekosistem KLHK.
Sebagai contoh, lanjut dia, untuk pendakian gunung, beberapa taman nasional mewajibkan para pendaki mendata potensi sampah yang mereka bawa.
"Didata, kemudian saat mereka turun, akan dicek kembali. Apakah sampah tersebut dibawa atau tidak?” tuturnya.
View this post on Instagram
Tri mencontohkan, di Taman Nasional Gunung Rinjani pernah ada 52 pendaki yang tidak membawa kembali sampahnya.
Akhirnya, para pendaki itu di-blacklist atau dilarang untuk mendaki, sampai dua tahun ke depan.
Baca juga: Buang Sampah Sembarangan di Gunung, Bisa Kena Denda sampai Blacklist
Kemudian, informasi ini disampaikan di media sosial TN Gunung Rinjani dan mendapatkan berbagai respons positif dari netizen.
"Mereka bilang ‘Kenapa cuma dua tahun? Kenapa di-blacklist hanya di Gunung Rinjani saja? Kenapa tidak di seluruh taman nasional yang ada di Indonesia?’ Jadi kami melihat mulai adanya kesadaran tinggi dari para pengunjung terhadap isu konservasi,” jelas Tri.