Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohammad Nasir
Wartawan

Wartawan Kompas, 1989- 2018

17 Agustus Menginap di Kampung Baduy Dalam

Kompas.com - 20/08/2022, 14:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kami kemudian berangkat sekitar pukul 09.00 dengan satu mobil pribadi dengan perlengkapan seperlunya, termasuk obat-obatan.

Baca juga: Suku Baduy: Sejarah, Adat, dan Agama

Sebenarnya untuk menuju Kanekes dari Palmerah, kami bisa memilih perjalanan dengan kereta api jurusan Rangkasbitung, naik dari stasiun KA Palmerah. Dari Rangkasbitung, bisa
lanjut naik angkutan umum menuju pintu masuk Baduy di Ciboleger, atau Cijahe.

Tetapi kami memilih menempuh jalan Jakarta- Kanekes sepanjang sekitar 160 kilometer dengan mobil melalui jalan tol baru.

Adanya jalan tol Serang- Panimbang, masuk dari Walantaka Interchange pada ruas tol Jakarta-Merak di kawasan Serang Timur, perjalanan menuju Baduy menjadi lebih cepat dibanding sebelum ada jalan tol. Cukup memerlukan waktu tempuh sekitar empat jam sampai pintu masuk kampung Cikeusik di Cijahe.

Dari Cijahe masuk ke kampung Baduy Dalam, Cikeusik kami jalan kaki melintasi jalan berbatu naik-turun dan melintasi jembatan gantung.

“Perjalanan kita diberkati Tuhan. Tidak hujan dan tidak panas. Kalau hujan jalan pasti licin dan sulit dilalui,” tutur St Sularto beberapa kali menyampaikan rasa syukurnya.

Sampai di Cikeusik matahari masih terang di atas pucuk pohon hutan sekitar Kanekes. Kami sempat berbincang-bincang dengan sejumlah relawan gabungan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sudah terlebih dulu masuk Cikeusik untuk keperluan memberi bantuan kesehatan.

Kami juga masih menyaksikan anak-anak berlarian, tanpa alas kaki meloncat-loncat di atas batu yang tersebar di sekitar rumah khas Baduy beratap rumbia dan berdinding gedek, anyaman bambu.

Matahari menjelang tenggelam, sejumlah remaja Baduy berlarian dan melompat ke dalam sebuah bangunan berdinding gedek, tanpa jendela.

Di dalamnya gelap, sumber cahaya hanya dari satu-satunya pintu yang terbuka. Tidak ada penerangan apapun. Listrik tidak boleh ada karena menyalahi adat.

Mereka masing- masing mengangkat dan memainkan angklung. Ada angklung pendek, dan ada yang sekitar satu meter dengan bumbung besar bersuara seperti bas. Iramanya ritmik, naik turun, rendah sedang, tinggi, seperti paduan suara, terdengar merdu dan magis.

Kami dipersilakan masuk bangunan semacam sanggar kesenian itu untuk menonton, tetapi diingatkan oleh Jaro Alim, pemimpin kampung Cikeusik, untuk tidak mengambil foto dan video.

Ketika Jaro Alim memberi peringatan dengan bahasa Baduy (Sunda Lama), kami memanfaatkan untuk bertanya balik apakah kegiatan ini persiapan peringatan 17 Agustus? Dia menjawab, sama sekali tidak ada kaitannya dengan 17 Agustus.

“Ini main angklung untuk menandai setelah tanam padi bersama-sama selesai,” tutur Alim yang rumahnya kami pergunakan untuk menginap. Kebetulan hari itu hampir sepanjang hari masyarakat Baduy pergi ke ladang untuk tanam padi.

Sebelum matahari benar-benar tenggelam yang membuat perkampungan Baduy Dalam gelap gulita, kami mandi di sungai berair jernih, mengalir deras. Airnya dingin mengingatkan cerita tentang sungai Aare di Bern, Swiss.

Sungai yang melintasi Desa Kanekes itu bernama Ciujung yang mempunyai anak sungai Cisimeut, Cibarani, Cibeneung, dan Ciparahiang.

Supaya tubuh tidak hanyut terbawa arus deras, saya menyandarkan tubuh saya di batu besar menghadap arus air. Puas mandi di sungai itu walaupun tanpa sabun. Adat Baduy melarang menggunakan sabun.

Waktu sudah petang, kami naik rumah panggung milik keluarga Jaro Alim. Jaro adalah kepala kampung adat yang juga bertugas antara lain menjadi penghubung antara masyarakat adat dan kepala desa wakil pemerintah.

Kami duduk bersila membentuk lingkaran. Jaro Alim didampingi keluarganya, Mif yang sudah menjadi Baduy Luar.

Diterangi lampu ublik dengan bahan bakar minyak sayur, kami menyantap makan malam yang disediakan keluarga jaro. Masing-masing diberi selembar daun pisang dan daun lain semacam ganyong untuk alas nasi.

Nasi ditaruh di atas daun masing-masing, lalu sepiring ikan semacam selar yang sudah diasinkan disorongkan ke tengah lingkaran.

Ikan-ikan asin goreng sepanjang jari tangan itu diambil satu-satu untuk menemani nasi. “Enak juga makan seperti ini,” kata Alex Sudarto.

Selesai makan malam, kami tidak segera beranjak menyingkir karena kami berharap ada ngobrol-ngobrol dengan Jaro Alim.

Untuk mengisi waktu saya minta Jaro Alim dan keponakannya menjadi nara sumber. St Sularto yang banyak membaca buku tentang Baduy, termasuk karya rohaniawan Belanda N.J.C Geise, tahun 1952 berjudul “Badujs en Muslims in Lebak Parahiang, Zuid Banten”, membuka percakapan dan menceritakan secara singkat isi buku tersebut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com