Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Berdirinya Yogyakarta, Kerajaan Besar yang Pecah Jadi 2

Kompas.com - 03/10/2022, 18:06 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Anggara Wikan Prasetya

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kota Yogyakarta merupakan ibu kota dan pusat pemerintahan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Indonesia.

Kota yang menjadi kediaman bagi Sultan Hamengkubuwana dan Pakualam ini adalah salah satu kota terbesar di Indonesia dan terbesar keempat di wilayah Pulau Jawa bagian selatan, menurut jumlah penduduk.

Dikutip dari laman Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah D.I Yogyakarta, Senin (3/10/2022), dalam Babad Gianti, Yogyakarta atau dalam bahasa Jawa Ngayogyakarta adalah nama yang diberikan oleh Pakubuwana II (raja Mataram Islam 1719-1727) sebagai pengganti nama pesanggrahan Gartitawati.

Baca juga:

Yogyakarta berarti Yogya yang kerta atau Yogya yang makmur. Sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat berarti Yogya yang makmur dan yang paling utama.

Ada juga yang memaknai Yogyakarta dari kata "Ayogya" yang berarti kedamaian, dan "Karta" yang berarti baik. Sumber lain mengatakan, nama Yogyakarta diambil dari nama (ibu) kota Sanskrit Ayodhya dalam epos Ramayana.

Sejarah hari jadi Yogyakarta

Ulang tahun kota Yogyakarta diperingati setiap tanggal 7 Oktober. Tahun 2022 ini, Yogyakarta merayakan usianya yang ke-266 tahun.

Peringatan hari lahir Kota Yogyakarta setiap tanggal 7 Oktober tentunya berkaitan dengan asal usul atau sejarah terbentuknya Kota Pelajar ini.

Baca juga: Yogyakarta Bersiap Jadi Tuan Rumah Asean Tourism Forum, Hampir Selevel dengan G20

Pendirian Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel.

Plengkung Wijilan adalah salah satu gerbang Keraton Yogyakarta yang identik dengan sentra kuliner gudeg.Shutterstock/Arif Budi C Plengkung Wijilan adalah salah satu gerbang Keraton Yogyakarta yang identik dengan sentra kuliner gudeg.

Isi Perjanjian Gianti adalah membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi dua, setengah masih menjadi hak Kerajaan Mataram Islam (nantinya menjadi Surakarta).

Setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwana I), dikutip dari laman Pemerintah Kota Yogyakarta. 

Dalam perjanjian yang sama, Pengeran Mangkubumi diakui menjadi raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alaga Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.

Baca juga: 15 Wisata Pantai Terkenal Yogyakarta dengan Panorama Indah

Daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, dan Bumigede.

Selain itu, ditambah beberapa daerah mancanegara yaitu Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartasura, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, dan Grobogan.

Setelah selesai perjanjian, Sultan Hamengkubuwana (HB) I segera menetapkan bahwa wilayahnya diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribu kota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.

Bangunan bastion pada bagian pojok Benteng Baluweri Keraton Yogyakarta.kebudayaan.jogjakota.go.id Bangunan bastion pada bagian pojok Benteng Baluweri Keraton Yogyakarta.

Tempat yang dipilih menjadi ibu kota dan pusat pemerintahan ini merupakan hutan yang disebut sebagai Beringin.

Setelah penetapan diumumkan, Sultan HB I langsung memerintahkan kepada rakyat untuk membuka hutan tadi dan mendirikan keraton di sana. 

Baca juga: The Lost World Castle Yogyakarta, Sensasi Wisata ala Negeri Dongeng

Sebelum keraton berdiri, Sultan HB I menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping yang juga tengah dikerjakan. Ia menempati pesanggrahan tersebut secara resmi pada tanggal 9 Oktober 1755.

Dari tempat itu, ia selalu mengawasi dan mengatur pembangunan keraton yang sedang dikerjakan.

Setahun kemudian, Sultan HB I mulai memasuki istana baru sebagai peresmiannya. Akhirnya, Kota Yogyakarta atau dengan nama utuh Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat resmi berdiri.

Baca juga: 5 Tempat Melihat Sunrise di Gunungkidul Yogyakarta

Pesanggrahan Ambarketawang pun ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di keraton yang baru. Peresmian itu terjadi pada tanggal 7 Oktober 1756.

Tanggal kepindahan Sultan HB I dari Ambarketawang ke Keraton Yogyakarta itulah yang kini ditetapkan menjadi hari jadi Kota Yogyakarta.

Yogyakarta gabung dengan NKRI

Wilayah benteng dan keraton yang baru ini memiliki luas kurang lebih 4.000 meter persegi dengan bentuk menyerupai belah ketupat.

Ilustrasi Keraton Yogyakarta. Terdapat beberapa nama kampung yang diambil dari nama tempat tinggal para pangeran ataupun bangsawan Keraton Yogyakarta yang disebut sebagai Dalem. 
SHUTTERSTOCK/Aquavisuals Ilustrasi Keraton Yogyakarta. Terdapat beberapa nama kampung yang diambil dari nama tempat tinggal para pangeran ataupun bangsawan Keraton Yogyakarta yang disebut sebagai Dalem.

Pada saat proklamasi kemerdekaan RI, Sultan HB IX dan Pakualam VIII menyatakan bahwa Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Daerah ini juga bergabung menjadi satu mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). 

Baca juga: 15 Tempat Wisata Dekat Malioboro Yogyakarta untuk Liburan Murah

Setelah itu, Sultan HN IX dan Pakualam VIII menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Adapun saat ini, Keraton Yogyakarta dipimpin oleh Sultan HB X dan Pura Pakualaman dipimpin oleh Sri Paduka Pakualam IX.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com