KOMPAS.com – Salah satu acara tahunan yang rutin diselenggarakan di Kota Solo adalah Umbul Mantram.
Acara ini menjadi bagian dari rangkaian Grebeg Sudiro yang diselenggarakan saat momen Tahun Baru Imlek.
Tahun 2023, Grebeg Sudiro, termasuk Umbul Mantram kembali diselenggarakan setelah pencabutan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Baca juga: Naik Kapal di Lampion Imlek Kota Solo, Susuri Sungai Bertabur Lampion
Untuk Umbul Mantram, acara ini diselenggarakan pada Hari Kamis (12/1/2023) di Kantor Kelurahan Sudiroprajan.
Secara umum, acara ini adalah kirab dan doa bersama yang diikuti masyarakat Kampung Sudiroprajan.
Acara ini kental akan campuran budaya Jawa dan Tionghoa karena Kampung Sudiroprajan memang bisa dibilang sebagai pecinan di Kota Solo. Namun warga etnis Tionghoa setempat sudah berakulturasi dengan masyarakat sekitar dengan etnis Jawa.
“Sudiroprajan ini bisa dibilang merupakan kawasan pecinan di Kota Solo,” kata Wakil Wali Kota Surakarta Teguh Prakosa saat melakukan sambutan di Kelurahan Sudiroprajan, Selasa.
Kompas.com sempat berkunjung langsung di acara Umbul Mantram dan mengikuti rangkaian acara.
Kirab menjadi acara utama Umbul Mantram. Warga Sudiroprajan tampak berbaris untuk kemudian berjalan menyusuri rute yang ditentukan.
Salah satu keunikan kirab adalah, peserta mengenakan pakaian tradisional. Tidak hanya pakaian tradisional Jawa, tetapi juga pakaian khas Tionghoa.
Peserta kirab berjalan membawa air suci, obor, hingga jodang (tandu untuk mengangkat makanan).
Rute kirab tidak terlalu jauh. Salah satunya adalah melewati kawasan permukiman Sudiroprajan.
Satu hal yang unik di sini adalah, beberapa rumah memiliki tata ruang khas Tionghoa, seperti adanya foto-foto leluhur dan altar. Padahal rumah itu jika dilihat sekilas, seperti rumah masyarakat Jawa biasa.
Baca juga: Lampion Imlek di Kota Solo Mulai Berpendar, Masyarakat Padati Pasar Gede
Selanjutnya, rute kirab melewati situs sejarah, yakni Bok Teko. Konon dulu Raja Surakarta, Pakubuwana pernah duduk di tempat ini, kemudian tutup tekonya jatuh ke sungai. Di sini, rombongan berhenti dan tokoh masyarakat melakukan doa.
Rute kemudian adalah melalui kawasan lampion Pasar Gede. Rombongan kirab pun jadi perhatian masyarakat yang datang.
Dari Pasar Gede, rombongan berjalan kembali ke Kelurahan Sudiroprajan. Setebanya di sana, rombongan disambut oleh penari bedaya.
Setelah sampai di Kelurahan Sudiroprajan, perserta kirab kemudian berdoa bersama. Barang bawaan kirab kemudian doakan bersama.
Setelahnya, ada prosesi penyerahan benda pusaka kepada lurah Sudiroprajan. Ada pula ritual menabur benih dan melepas burung serta ayam.
Baca juga: Pracima Tuin di Pura Mangkunegaran Solo Akan Dibuka pada 21 Januari
Makanan yang ada di jodang kemudian diperebutkan masyarakat. Ada dua jodang, yakni jodang lanang (laki-laki) dan jodang wadon (perempuan).
Jodang wadon berisi hasil bumi, seperti sayuran dan buah-buahan. Sementara jodang lanang berisi makanan khas Sudiroprajan.
Acara kemudian dilanjutkan dengan doa bersama lintas agama. Doa dipimpin oleh perwakilan dari masing-masing agama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Konghuchu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.