Martin menceritakan bahwa bangunan yang saat ini dijadikan sebagai lokasi Museum Benteng Heritage diperkirakan sudah ada sejak abad ke-17.
"Dulu, bangunan ini (berfungsi) sebagai rumah komunitas atau organisasi. Ini kita ketahui dari relief yang menghiasi bagian dalam bangunan," kata Martin kepada Kompas.com pada Rabu (11/01/2022).
Baca juga: Cara ke Museum Benteng Heritage Naik KRL, Turun di Stasiun Tangerang
Setelah ditinggalkan cukup lama, pada abad ke-19 bangunan tersebut kemudian dimiliki secara pribadi oleh keluarga bermarga Lao. Mereka hidup secara turun temurun di sini sampai 2009.
"(Tahun) 2009 bangunan ini dijual dan dibeli oleh Pak Udaya Halim," katanya.
Setelah membeli bangunan tua ini, Udaya Halim kemudian melakukan restorasi dan meresmikan bangunan tersebut sebagai sebuah museum pada 11 November 2011.
Baca juga: Itinerary Wisata Akhir Pekan di Pasar Lama Tangerang
Meski berganti kepemilikan, namun tidak ada perbedaan besar yang dilakukan terhadap bangunan tersebut.
"Tidak ada perbedaan besar antara (bangunan) asli dengan yang sudah direstorasi. Hanya memberi tambahan ornamen dan mengisi ruangan museum," kata Martin.
Memasuki lantai satu museum, saya diajak Martin ke depan sebuah pajangan kuno. Bentuknya serupa kertas pajangan biasa berisi tulisan China yang sudah difigura dengan kaca.
"Ini prasasti Tangga Jamban, ditemukan pada 173 Masehi," ucapnya sembari menunjuk kertas pajangan tersebut.
Baca juga: 10 Makanan yang Dijual Saat Malam di Pasar Lama Tangerang
Berdasarkan penjelasan Martin, prasasti Tangga Jamban ini berisi 81 nama atau marga kaum Tionghoa yang ikut berpartisipasi membangun Kota Tangerang pada zaman dahulu.
"Nama prasasti ini diambail dari lokasi penemuannya, yakni di pinggir kali, tepatnya di tangga jamban," terang Martin.
Orang Tionghoa, kata Martin, melakukan pendaratan di Tangerang, Banten, pada 1407. Tepatnya di daerah Teluk Naga.
Baca juga: Museum Benteng Heritage, The Pearl of Tangerang
Orang Tionghoa yang pertama kali datang ke Tangerang bernama Chen Ci Lung (Ha Lung), yaitu seorang pemimpin pasukan yang diutus oleh seorang pelaut asal Tionghoa bernama Laksamana Cheng Ho.
Pendaratan pasukan Ha Lung di Teluk Naga, kata Martin, pada saat itu bertujuan untuk melakukan perdagangan. Sehingga mereka mulai bersosialisasi dengan pribumi dan terjadilah perkawinan campuran.
"Orang Tionghoa datang ke Tangerang dulu bukan untuk menjajah, melainkan untuk berdagang."
"Sehingga kedatangannya disambut baik oleh pribumi, tapi dianggap musuh oleh orang Belanda," kata Martin.
View this post on Instagram