Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menilik Nisan Soe Hok Gie di Museum Taman Prasasti Jakarta

Kompas.com - 18/02/2023, 15:21 WIB
Wasti Samaria Simangunsong ,
Ni Nyoman Wira Widyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Museum Taman Prasasti, Jakarta Pusat, dulunya dikenal sebagai kompleks pemakaman Kebon Jahe Kober. Museum ini mengoleksi 993 nisan dari banyak tokoh penting era pemerintahan Hindia Belanda.

Di antaranya nisan H.F. Roll, pendiri STOVIA atau sekolah kedokteran waktu itu, dan nisan Marius Hulswit, perancang Gereja Katedral tahun 1899-1901. 

Baca juga:

Namun, di antara banyaknya nisan yang ada, ada satu nisan milik seorang aktivis yang meregang nyawa di Puncak Mahameru yakni Soe Hok Gie

 

 

Nisan Soe Hok Gie di Museum Taman Prasasti

Foto Soe Hok-Gie yang ditemukan di Sekretariat Mapala UI, Depok, Jawa Barat. Soe Hok-Gie merupakan salah satu pendiri Mapala UI sekaligus aktivitis yang turut berperan dalam aksi long march dan demo besar-besaran pada tahun 1966. Mapala UI sebagai salah satu pelopor pencinta alam di Indonesia, memiliki foto-foto yang menjadi bagian sejarah kepencintaalaman di IndonesiaDokumentasi Mapala UI Foto Soe Hok-Gie yang ditemukan di Sekretariat Mapala UI, Depok, Jawa Barat. Soe Hok-Gie merupakan salah satu pendiri Mapala UI sekaligus aktivitis yang turut berperan dalam aksi long march dan demo besar-besaran pada tahun 1966. Mapala UI sebagai salah satu pelopor pencinta alam di Indonesia, memiliki foto-foto yang menjadi bagian sejarah kepencintaalaman di Indonesia

Nisan Soe Hok Gie (Gie) di Museum Taman Prasasti tampak sederhana. Ukurannya tidak begitu besar bila dibandingkan dengan nisan orang asing lainnya yang umumnya persegi panjang.

Jika dilihat sekilas, mungkin pengunjung akan melewatkannya begitu saja.

Sebuah patung malaikat perempuan tampak berdiri di atas nisan yang hanya bertuliskan nama Soe Hok Gie, tanggal kelahiran, dan tanggal kematiannya, serta kutipan "Nobody knows the troubles I see; nobody knows my sorrow" (tak ada yang mengerti masalah yang saya lihat; tak ada yang mengerti kesedihan saya).

Baca juga:

Pemandu Museum Taman Prasasti, Iin mengatakan bahwa nisan asli Soe Hok Gie dulunya tidak memiliki patung malaikat ini.

Sebab, patung malaikat ditambahkan oleh pihak museum, setelah proses penataan selesai dilakukan.

"Nisan itu biar orang tahu kalau di sini dulu pernah dimakamkan Soe Hok Gie, karena dulu Soe Hok Gie memang terkenal ya, aktivis, jadi biar enggak hilangin jejak, nisannya ada di sini," terang Iin kepada Kompas.com, Selasa (14/2/2023).

Siluet senja di lembah Mandalawangi, Gunung Pangrango, selepas hujan. Gunung Pangrango bisa jadi pilihan jika kamu mencari gunung dekat Jakarta.KOMPAS.COM / VITORIO MANTALEAN Siluet senja di lembah Mandalawangi, Gunung Pangrango, selepas hujan. Gunung Pangrango bisa jadi pilihan jika kamu mencari gunung dekat Jakarta.

Soe Hok Gie meninggal saat tengah mendaki Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur, akibat menghirup gas beracun. 

Peristiwa itu terjadi pada 16 Desember 1969, hanya berjarak satu hari sebelum hari ulang tahunnya.

Jasad Gie dikebumikan di pemakaman Menteng Pulo, sebelum dipindahkan ke pemakaman Kebon Jahe Kober yang sebetulnya diperuntukkan bagi jenazah orang-orang Belanda masa itu.

Baca juga:

Sebelum meresmikan kompleks pemakaman tersebut menjadi museum, Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Ali Sadikin, memerintahkan pemindahan seluruh jenazah yang ada.

Ada yang dipindahkan ke Tanah Kusir, Menteng Pulo, serta sebagiannya diurus oleh anggota keluarga untuk dikembalikan ke kampung halaman.

Adapun jenazah Soe Hok Gie dibawa ke krematorium untuk dikremasi.

"Dulu beliau dimakamkan memang di sini, cuma ada penataan ulang, jadi tidak tahu lokasi awal nisannya di mana, sudah itu, jenazah Soe Hok Gie dikremasi," jelas Iin.

Kemudian abu jenazah Soe Hok Gie, lanjutnya, ditabur di Lembah Mandalawangi di Gunung Pangrango, Jawa Barat.

Dilaporkan oleh Kompas.com, Senin (17/12/2018), Gunung Pangrango disebut sebagai tempat favorit Soe Hok Gie untuk naik gunung.

Kekagumannya terlihat dari puisi-puisi yang ditulisnya, salah satunya berjudul "Mandalawangi-Pangrango" (1966).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com