Padusan berasal dari kata adus dalam bahasa Jawa yang berarti mandi, seperti dikutip dari laman Indonesia.go.id.
Tradisi padusan dilakukan dengan cara cara berendam atau mandi di sumber mata air. Makna tradisi padusan adalah menyucikan diri serta membersihkan jiwa dan raga menyambut datangnya bulan suci.
Baca juga: Umbul Manten Klaten, Pemandian Alami dengan Air Sebening Kaca
Padusan dilakukan oleh masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta. Beberapa lokasi penyelenggaraan tradisi padusan antara lain, Umbul Manten di Klaten, Jawa Tengah, Umbul Petilasan Joko Tingkir di Semarang, Umbul Pajangan di Sleman, dan lainnya.
Dugderan merupakan tradisi sambut Ramadhan dari Kota Semarang, Jawa Tengah.
Berdasarkan informasi dari situs Warisan Budaya TakBenda Indonesia, nama dugderan berasal dari suara bedug yang berbunyi dug dan meriam yang berbunyi der, kemudian digabungkan menjadi istilah Dugderan.
Baca juga: Mengenal Dugderan, Tradisi Sambut Ramadhan di Kota Semarang
Tradisi ini bermula pada 1881 di Kota Semarang pada masa pemerintahan Bupati Purbaningrat. Sehari menjelang Ramadhan, usai shalat Ashar umat Islam memukul bedug di Masjid Besar Kauman disusul dengan penyulutan meriam di halaman pendopo kabupaten.
Tradisi dugderan digelar dalam bentuk arak-arakan, tarian, atraksi, dan karnaval di Kota Semarang.
Dandangan merupakan tradisi menyambut Ramadhan di Kudus, Jawa Tengah. Melansir dari laman Warisan Budaya TakBenda Indonesia, kata dandangan diambil dari suara bedug khas Masjid Menara Kudus, yaitu dang yang menandai awal puasa.
Dulunya, dandangan merupakan tradisi berkumpulnya para santri di depan Masjid Menara Kudus untuk menunggu pengumuman dari Sunan Kudus tentang penentuan awal Ramadhan.
Saat ini, tradisi dandangan digelar dengan melakukan kirab dandangan dimulai dari Jalan Kiai Telingsing menuju kompleks Menara Kudus sejauh tiga kilometer.
Baca juga: Dhandhangan dan Masjid Menara Kudus
Tradisi sebelum puasa di Jawa selanjutnya adalah arwah jamak yang berasal dari Demak, Jawa Tengah.
Mengutip Kompas.com (12/4/2021), tradisi ini dilakukan dengan membca doa untuk orang tua, sanak saudara, serta leluhur yang sudah meninggal. Doa akan dibacakan bersama-sama menjelang datangnya bulan Ramadhan dan sepuluh hari terakhir pada malam ganjil Ramadhan
Tradisi ini sudah ada sejak masa Sunan Kalijaga, serta dilestarikan hingga saat ini. Selain doa, keluarga yang masih hidup juga mengumpulkan sedekah atas nama keluarga yang sudah meninggal.