Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Cara Pembuatan Arak Bali di Karangasem

Kompas.com - 23/09/2014, 20:11 WIB
KARANGASEM, KOMPAS.com - Mangku Winarta (55), warga Desa Tri Eka Bhuana, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem, Bali, ini begitu terampil memanjat pohon kelapa untuk menyadap tuak (ngirisin). Dilengkapi beruk dan pisau di pinggang, Winarta melakukan aktivitas ngirisin di areal kebun miliknya setiap hari.

Sebanyak sepuluh pohon ia panjat dalam sekali waktu antara pagi dan sore hari. Sadapan tuak ini nantinya ia kumpulkan untuk dibawa ke pembuat arak yang berada dekat rumahnya. Selain untuk menyambung hidup, aktivitas yang dilakukannya setiap hari ini juga sebagai bentuk pelestarian tradisi pembuatan arak secara tradisional yang telah berlangsung turun-temurun di Desa Tri Eka Bhuana.

EKA JUNI ARTAWAN Nengah Winarta (55) sedang memanjat pohon kelapa untuk mencari tuak sore harinya. Pembuatan tuak secara tradisional ini bisa dijumpai di Desa Tri Eka Bhuana, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem, Bali.
Di desa yang berjarak sekitar 55 km dari kota Denpasar ini, hampir 90 persen warganya merupakan pembuat arak tradisional. Kebanyakan para petani di desa ini selain bertani di kebun dan sawah, juga mampu membuat arak berkualitas.

Kendati arak yang dihasilkan di Desa Tri Eka Bhuana, terkenal alami dan berkualitas, namun masih jarang wisatawan datang berkunjung sebagai tujuan paket wisata ke Pura Besakih dan sekitarnya. Mereka para jasa travel yang membawa wisatawan lebih memilih daerah pinggiran jalan utama wilayah Sidemen.

EKA JUNI ARTAWAN Tuak hasil sadapan ditampung dalam gentong plastik selama 4 sampai 5 hari sebelum diproses menjadi arak. Serabut kelapa menjadi salah satu media guna melancarakan proses fermentasi. Pembuatan arak tradisional Bali ini dapat dijumpai di Desa Tri Eka Bhuana, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem.
Sinergi antara pencari tuak dan pembuat arak saling berkaitan, karena di desa ini yang punya keahlian menyadap arak belum tentu memiliki peralatan membuat arak, mengingat jumlahnya yang semakin sedikit. “Sekarang alat pengarakan yang masih tradisi sedikit, bisa dihitung dengan jari. Yang lainnya sudah dimodifikasi menggunakan pipa alumunium,” ungkap Mangku Winarta.

Jika mengunjungi desa ini, selain pemandangan hijau perbukitan, pengunjung juga akan disuguhi pemandangan lain berupa perlengkapan tradisional untuk membuat arak di sejumlah rumah penduduk. Pada pagi hari, aktivitas membuat arak kerap dilakukan di sebuah rumah kecil (gubug) yang menonjolkan rangkaian penyulingan. Letaknya terpisah dengan dapur yang digunakan untuk keperluan memasak sehari-hari.

EKA JUNI ARTAWAN Saat ini alat untuk membuat arak sudah dimodifikasi menjadi lebih simple dengan menggunakan pipa alumunium sebagai media penyulingan. Tuak hasil sadapan ditampung dalam gentong plastik selama 4-5 hari sebelum diproses menjadi arak. Pembuatan arak tradisional ini bisa dijumpai di Desa Tri Eka Bhuana, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem, Bali.
Alat penyulingan ini berada di belakang pekarangan rumah. Berhias serabut kelapa dan ranting kayu kering yang nantinya digunakan sebagai bahan bakar. Dari sekian banyak  pengarakan di desa ini, hanya milik pasangan suami istri, Ketut Murti (60) yang masih tradisional. Selain bertani, Murti juga memiliki keahlian membuat arak. Pengarakan tradisional miliknya mampu menghasilkan arak yang berkualitas.

Proses penyulingan, biasa dilakukan  perempuan atau ibu rumah tangga. Sedangkan pihak laki-laki sibuk mencari tuak (ngirisin) setiap pagi dan sore hari. Aktivitas seperti ini dilakukan sejak puluhan tahun lalu secara turun-temurun. “Kami membuat arak lebih dari 25 tahun, ketika cucu kami masih kecil,” kata Murti.

EKA JUNI ARTAWAN Tuak segar yang baru disadap dari pohonnya langsung. Proses ini ditampung dalam sebuah Beruk atau batuk kelapa. Proses pembuatan arak tradisional ini dapat dijumpai di Desa Tri Eka Bhuana, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem, Bali.
Menurut Murti,  membuat arak tidak dibutuhkan ketentuan yang baku. Hanya berdasarkan perhitungan melalui pengamatan dan pengalaman. Pembuatan arak diawali dari tuak yang matang, kemudian ditampung dalam gentong plastik selama 3 sampai 4 hari, hingga terasa kecut. Tuak ini berproses bersamaan dengan serabut kelapa di dalam gentong tertutup sebagai proses fermentasi.

Setelah dirasa cukup, tuak dimasukkan ke dalam rangkaian pengarakan  yang terdiri dari tiga buah kaling atau guci. Masing-masing guci berisi 4 ember tuak dengan daya tampung 5 liter. Proses penyulingan diawali sejak pukul 05.00 sampai pukul 15.00. Aktivitas ini hampir dilakukannya setiap hari.

Hasil penyulingan, mampu memproduksi kadar alkohol mulai 30, 35, 40 persen. “Pemborong arak tahu semua kadar alkohol yang dihasilkan, kami hanya membuat dan memproses. Bahkan kadar alkohol nol pun mereka berani beli,” kata Murti.

EKA JUNI ARTAWAN Arak Sidemen, Karangasem, Bali, ini dikenal memiliki kualitas bagus, dengan kadar alkohol alami dan berwarna putih bersih.
Arak dibedakan menjadi beberapa tingkatan kelas kadar alkohol. Untuk kelas satu, kadar alkohol antara 35 sampai 40 persen, kelas dua kadar alkohol 30 persen, sedangkan untuk kelas 3 kadar alkohol 25 persen.

Setiap pemborong yang jauh–jauh datang, punya klasifikasi arak yang mereka bedakan dari kadar alkohol. Mereka kerap membawa alat pengukur modern, alcoholmeter, sebagai petunjuk untuk mengetahui kadar alkohol yang dihasilkan dari alat tradisional ini.  (Eka Juni Artawan)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com