Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketagihan Traveling Bukan Tanpa Risiko…

Kompas.com - 22/03/2017, 18:27 WIB
Josephus Primus

Penulis

KOMPAS.com - Memilih membuka ketimbang menutup mata saat melayang di atas ketinggian 200 meter di atas Danau Pokhara adalah pilihan sadar Sri Anindiati Nursastri, salah satu travel blogger, saat kali pertama melakukan terbang tandem paralayang.

"Itu kejadian dua tahun lalu," tutur dara yang karib disapa Sastri, beberapa pekan silam.

Paralayang adalah olahraga ekstrem kali pertama yang dilakoni penulis blog perjalanan wisata ini. Menariknya, olahraga itu dilakoninya di negeri orang, Nepal.

"Waduh, gila nih parah banget! Gue bisa juga sampai di sini! Setelah bertahun-tahun pengin lihat (pegunungan) Himalaya, akhirnya...," seru Sastri.

Bagi Sastri, kemudian, adrenaline rush yang dialaminya malahan membuatnya tak takut jika harus jatuh dari ketinggian itu. "(Kalau) gue mau jatuh? Jatuh aja, bodo amat!" katanya lagi.

Sastri mengaku, Nepal adalah destinasi incarannya sejak lama. Boleh dikatakan, negeri yang bertetangga dengan Tibet itu ada di dalam bucket list perjalanan idamannya.

"Ada prayer flags (bendera-bendera doa) di Nepal," katanya yang merasa beruntung lantaran bisa bertandang ke Nepal gara-gara mendapat tiket promo penerbangan.

“Virus” Tintin

Dari hati kecil Sastri, sasaran perjalanan yang paling menjadi dambaan justru Tibet. Nah, inspirasi ke Tibet yang mengguncang-guncang hasratnya itu berawal saat dirinya membaca buku bergambar bertajuk Tintin in Tibet karya Herge.

Adalah Sang Ayah, Sulistio, yang memperkenalkan Tintin pada Sastri. Waktu itu, perempuan kelahiran 6 Februari 1988, baru berusia empat tahun.

Dokumentasi pribadi Sri Anindita Nursastri. Travel blogger, Sri Anindita Nursastri.

"Bapak baru pulang dinas dari Eropa dan membelikan (buku cerita bergambar) Tintin. Aku suka lihat gambarnya," tutur pemilik akun @sastrii di Instragam ini.

Sastri berujar, Tintin in Tibet baginya adalah buku cerita bergambar pertama dari 20 serial Tintin, yang berlatar belakang bukan Eropa.

Dari buku itu, Sastri, mendapat gambaran bahwa orang Tibet bermata sipit dan berkulit coklat. Di Tibet juga ada salju.

"Tibet sepertinya penuh dengan 'ingar-bingar' dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya yang rapi," ujarnya.

"Dari buku itu aku merasa kayaknya enak deh ke Tibet. Aku melihat panca inderaku jalan waktu baca Tintin in Tibet,"  imbuhnya.

Rasa ingin tahu yang terus-menerus berkecamuk di dalam hati, kata Sastri melanjutkan kisahnya, juga sedikit banyak dipengaruhi oleh sosok Tintin yang berprofesi sebagai wartawan. Sepertinya, ada "virus" Tintin di benak Sastri. Tentu saja, virus dalam arti positif, bukan yang lain.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com