Kalau ada daftar tempat-tempat di ujung dunia yang paling aneh, Rutog pastilah salah satu nominasi. Kota baru yang muncul di tengah kumpulan gunung, sepetak jalan aspal lurus yang mulai dari kepulan debu dan berakhir pada kepulan debu, polisi yang berkeliaran, serta penduduk yang sehari-hari hanya bermain biliar dari pagi hingga malam.
Para pesepeda Perancis baru saja berangkat menuju kota Rutog – pemukiman orang Tibet pertama dari arah Pegunungan Kunlun – sepuluh kilometer di selatan Danau Pangong yang masih dibungkus kesunyian ketika matahari pagi sudah memancarkan sinarnya ke sudut-sudut gunung. Jarak sepuluh kilo mestinya tak telalu jauh, bisa jalan kaki. Tetapi karena ini di atap dunia, pada ketinggian 4000 meter lebih, di mana oksigen tipis dan kepala selalu terasa berat, menggendong ransel pun saya hampir tak kuat lagi.
Saya duduk di pinggir jalan, di atas ransel, menunggu mobil atau truk yang bisa ditumpangi. Wajah saya sekarang sama dekilnya dengan tas ransel – berbalut debu. Rambut kusut dan kasar. Kulit penuh daki. Pakaian pun jadi hitam.
Danau Pangong adalah ironi, di mana danau luas berair jernih dan dingin membentang, di pinggirnya ada perkampungan gubug kumuh dan toilet tanpa air yang dikerubungi lalat hijau sebesar ujung jempol. Boleh dibilang, neraka paling seram di seluruh China adalah WC umum, lebih-lebih di pedalaman terpencil seperti ini. Hanya sebuah lobang dalam di atas permukaan tanah yang entah berapa puluh tahun sekali baru disiram. Baunya tak perlu ditanya. Saya tak pernah bernafas dengan hidung kalau masuk toilet. Seperti danau yang menjadi surga burung, toilet pinggir danau ini adalah surganya lalat.
Tibet memang bukan untuk petualang manja. Di sini kita tak boleh menuntut terlalu banyak dari alam dan lingkungan. Tak ada air, tak ada listrik, sudah menjadi hukumnya di alam liar seperti ini. Apalah arti diri kita yang cuma sebuah noktah kecil dibandingkan barisan gunung bertudung salju, danau raksasa, dan hamparan padang rumput luas yang mengkarpeti bumi? Manusia hanya bisa bertahan, di sini alam yang berkuasa.
Tak banyak mobil yang melintas. Dari pukul 6 pagi sampai 11, hanya ada tiga truk.. Itu pun tidak ada yang mau mengangkut. Menjelang tengah hari, baru ada truk Dongfeng datang dari Kargilik yang kebetulan bisa ditumpangi hanya sampai ke Rutog.
Sebuah gerbang merah bertudung seperti kuil tiba-tiba muncul di tengah kepungan gunung raksasa. Sebuah jalan beraspal tiba-tiba muncul dari balik debu. Sebuah kejutan yang memberontak di tengah kerumunan keganasan gunung batu dan padang rumput, ada barisan gedung-gedung kota China tertata rapi, berbaris sepanjang jalan dalam keteraturan yang paling tidak natural
“Ritu Huanying Nin” – Rutog Menyambut Anda – demikian tulisan huruf China besar di atas gerbang kota. Selamat datang di Rutog. Kota baru made in China bagi pemukim Tibet, Han, dan Uyghur, menyambut Anda yang baru turun dari puncak Kunlun.
Di kota ini, gedung-gedung bertingkat berjajar sepanjang jalan beraspal. Tiang listrik berbaris. Semua seperti baru saja dibangun kemarin sore. Penampilannya aneh, kemodernan yang dikontraskan dengan tebing tinggi di seluruh penjuru.
Orang Han dan Uyghur yang mendiami kota ini, kaum pendatang, menikmati kemakmuran kota ilusi di tengah gunung. Mereka mayoritas datang dari Xinjiang, Sichuan, Gansu, dan propinsi-propinsi tetangga Tibet.