Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Oh, Mahalnya Denmark... (1)

Kompas.com - 10/12/2009, 11:34 WIB

KOPENHAGEN, KOMPAS.com — Sebelum bertolak ke Kopenhagen, seorang teman pernah mengatakan, salah satu negara Skandinavia itu masuk dalam daftar sebagai salah satu kota termahal di dunia. Belum bisa membayangkan, seberapa mahalnya sehingga masuk dalam kategori “ter”. Tiga hari berada di sini, saya baru menemukan jawabnya. Setidaknya, harga-harga makanan, menurut Goris dan saya, tidak masuk akal. Walaupun seorang teman mengatakan, “Jangan mengonversinya ke rupiah, pasti menjadi enggak logis”.  Ini ceritanya....

Sebuah ajang besar seperti COP15 pasti menjadi sebuah kesempatan besar bagi para pengusaha makanan di Denmark. Lokasi pelaksanaan menyediakan lumayan banyak ruang untuk dijadikan cafetaria atau kantin yang mereka namakan “Climate Kitchen”. Kami pun mencoba menu makan siang di salah satu cafetaria. Goris memesan kus-kus, salad, pai apel, dan segelas jus jeruk. Tidak ada daftar harga di sana. Tiba saat pembayaran. Ia ternganga saat “dipaksa” mengeluarkan uang sebesar 92 kroner atau hampir Rp 200.000 untuk makanan dengan porsi kecil.

“Gila euy, mahal pisan. Kalau di Indonesia ini bisa makan nasi timbel sampai kenyang banget,” katanya sekeluar dari kasir.

Sejak tiga hari berada di Kopenhagen, ini memang menjadi kesempatan pertama kami untuk jajan makanan. Sebelumnya, kami masih mengandalkan perbekalan mi instan yang dibawa dari Tanah Air. Niatnya bukan karena ingin menghemat, tetapi alasan tak selera dengan menu makanan di sini. Saya sendiri memesan sebuah roti gandum dan satu cangkir kecil cokelat panas. Berapa yang harus saya bayar untuk ini? Untuk sebuah roti dihargai 25 kroner (Rp 50.000) dan satu cup cokelat panas 15 kroner (Rp 30.000).

“Kalau udah kayak gini, baru sadar Indonesia itu surga makanan,” kata Goris, mengulang kembali kata-kata yang entah sudah berapa kali diucapkannya.

Warga Denmark jarang jajan

Hari Selasa (8/12/2009) malam, saya diundang makan malam oleh seorang sahabat semasa SD dan SMP, Winda Deftiani, yang memang tengah menetap di Kopenhagen. Suaminya, Al Azhar, dalam proses menyelesaikan pendidikan Doktoral di Copenhagen University. Pesan yang disampaikan hanya satu: kangen masakan rumah. Akhirnya, setelah mengikuti serangkaian kegiatan di Bella Centre, saya dan Goris meluncur ke apartemennya di Vanlose. Senang rasanya kembali bertemu teman lama.

Semakin senang karena Winda sudah menyiapkan menu makan malam yang trully Indonesia. Pecel yang terdiri dari sayuran buncis, wortel, dan sawi putih. “Pecel kalau udah di sini (Kopenhagen) jadinya ini, enggak ada kangkung atau bayam,” kata Winda sambil tertawa.

Teman si pecel, telur dadar dan ayam goreng, dengan rasa yang benar-benar “Indonesia”. Cerita pun mengalir. Mengenai mahalnya harga-harga makanan di Denmark, menurutnya, tidak hanya dirasakan oleh para pendatang. Warga setempat pun sebenarnya merasakan hal yang sama. Hanya, harga mahal itu membuat warga setempat menjadi memilih untuk memasak dibandingkan jajan di luar.

“Orang di sini jarang kalau kumpul-kumpul makan di luar. Misalnya, menjelang Natal gini, banyak undangan makan malam. Ya sudah, kalau diundang pasti di rumah atau apartemen dan bawa makanan sendiri-sendiri karena mahal kalau harus menyiapkan untuk semua tamu. Terus, orang sini juga punya tradisi makan malam bersama, jadi jarang kalau jajan di rumah makan. Dan itu kayaknya udah jadi komitmen massal. Pulang kerja pukul 4, setelahnya jadi waktu keluarga. Jarang lihat ada yang kongkow malam-malam. Kalaupun ramai, biasanya pas musim semi,” kata Winda.

Ia sendiri mengaku memilih untuk memasak setiap hari dibandingkan beli makanan di luar. Selain karena alasan selera, tentunya juga untuk penghematan. Stok bumbu sudah dibawa dari Indonesia. Kalaupun persediaan habis, di Denmark ada sebuah pasar yang menyediakan berbagai jenis bumbu dan makanan selera orang Asia. Bahkan, kata Winda, ada satu toko di dekat Central Station Kobenhavn yang menyediakan produk-produk Indonesia seperti mi instan, kecap, dan saus. “Semuanya diimpor dari Belanda, enggak langsung dari Indonesia. Tapi lumayanlah, ada walau hanya di satu toko itu,” ujar alumni Institut Teknologi Bandung ini.

Mahalnya harga-harga di Denmark bisa jadi karena besarnya pajak yang diterapkan pemerintah setempat seperti diceritakan salah satu karyawan produsen mobil, Jesper, saat mengantar kami mengunjungi Danish Design Centre.

(bersambung...)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com