Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/03/2008, 09:08 WIB

Tuhan sedang memanjakan saya. Tidak pernah saya duga sebelumnya, bahwa nasib akan membawa saya kembali ke Izmir hanya enam bulan setelah kunjungan terakhir ke tempat indah di tepi pantai Laut Aegea di Turki ini.

Banyak pula hal baru yang saya temukan dalam kunjungan kali ini. Kalau pada kunjungan terdahulu saya tidak sempat mencicipi tuzda balik – ikan yang dimasak di dalam garam – maka kali ini saya sengaja kembali ke restoran “The Secret Garden” di Kusadasi itu untuk mencicipinya.

Biasanya, ikan yang dipanggang dalam garam adalah cipura, ikan lokal dari Laut Aegea yang juga biasa disebut seabream. Jenis ikan lain yang juga cocok dipanggang adalah seabass. Keduanya memiliki tekstur lembut yang firm, tetapi tidak flaky.

Ikannya utuh dan tidak dibumbui. Sisiknya pun tidak dibuang. Bila ikannya seberat satu kilogram, diperlukan satu setengah kilogram garam untuk membungkusnya. Garam dicampur dengan putih telur dari sekitar enam butir telur, lalu ikan dibungkus tebal dengan garam dan dipanggang dalam oven bersuhu tinggi. Setelah sekitar 30 menit dipanggang, garamnya akan mengeras seperti batu, dan ikan di dalamnya sudah matang.

Biasanya, ikan dibawa ke meja tamu dengan sedikit flambe atau api alkohol yang menyala. Lalu, pelayan yang trampil memecahkan bungkusan garam di meja tamu, mengupas kulit ikan, menyisihkan duri dan tulang, kemudian menyajikan daging ikannya di piring-piring tamu.

Asinkah? Sama sekali tidak. Rupanya, sisik yang dibiarkan itu membuat garam tidak menembus ke dalam pori-pori ikan. “Kapsul” garam itu juga membuat semua cairan tubuh ikan tetap berada di dalam daging ikan, sehingga menciptakan ikan bertekstur lembut dan citarasa seafood alami. 

Daging ikan panggang yang sudah skinless boneless ini kemudian disiram dengan saus kental yang terbuat dari mayones, keju kambing, lada putih, bawang putih, lalu di-flambe dengan brandy. Saus kental ini sungguh menggetarkan. Gwen, anak saya yang ikut mencicipi sajian ini, sampai beberapa hari masih termimpi-mimpi membayangkan kelezatan ikan panggang yang begitu lembut dan mak nyuss! |

Ikan yang dipanggang di dalam garam bukan hanya didapati di Turki. Saya pernah melihat hidangan serupa di Prancis dan Italia. Tidak jelas dari mana sebetulnya asal dari hidangan istimewa ini. Yang jelas, tuzda balik adalah kuliner kebanggaan masyarakat di sepanjang pantai Laut Aegea di sisi Turki.

Di restoran “Li Yen” di Jakarta juga ada menu ayam garam yang prosesnya mirip seperti itu. Bedanya, garam tidak dicampur dengan putih telur sehingga tidak mengeras, dan pemasakannya dilakukan dengan mengukus, bukan memanggang. Karena itu daging ayamnya terasa sedikit asin, dengan tekstur garing kenyal yang menggiurkan.

Setelah menyantap tuzda balik, saya terkenang ayam pengemis (beggar’s chicken) yang dua bulan silam saya cicipi di Johor Bahru. Sebelumnya, saya selalu makan beggar’s chicken di sebuah pusat jajanan yang ramai di dekat pasar Johor Bahru. Tetapi, baru-baru ini saya mendapat referensi tentang sebuah tempat yang lebih bagus untuk mencicipi ayam pengemis.

Rumah makan itu bernama “Ban Heong Seng”, terletak di Skudai, sekitar 20 menit dari pusat kota Johor Bahru. Ini sebenarnya hanya rumah biasa – bukan rumah makan seperti umumnya. Pelanggan yang ingin makan ayam pengemis harus menelepon dulu untuk memesan. Pesanan dapat dibawa pulang, dapat pula disantap di tempat. Bila di santap di tempat, pemilik rumah akan membuka meja lipat di teras rumah.

Bila cuaca baik, bisa juga membawa meja lipat itu ke bawah pohon rambutan. Dalam kunjungan dua bulan lalu, kami malah dipersilakan memetik buah rambutan yang istimewa langsung dari pohon sebagai pencuci mulut. Lumayan, gratis!

Ayam pengemis adalah ayam utuh yang dilumuri bumbu di bagian luarnya. Sisa bumbu kemudian dimasukkan ke dalam rongga perut ayam. Kemudian ayam dibungkus dalam lumpur tebal dan dipanggang dalam suhu tinggi sampai lumpurnya menjadi keras seperti batu bata. Dengan teknik ini, semua cairan tubuh ayam juga “terjebak” di dalam “kapsul” lumpur, sehingga menghasilkan tekstur yang lembut dan citarasa alami pula. Bedanya dengan tuzda balik hanya terletak pada media pembungkusnya. Yang satu garam, yang lain lumpur.

Ayam pengemis dari rumah di Skudai ini memang lebih kaya bumbunya, dan karena itu lebih lezat rasanya. Kuah yang dihasilkan dari natural juice ayam bercampur bumbu-bumbunya pun sangat lezat.

Di “Ban Heong Seng”, ayam pengemis disajikan dengan bakcang ketan berukuran raksasa. Bakcang ini pun dimasak di dalam lumpur, sehingga menghasilkan aroma yang khas. Sungguh, sebuah pengalaman kuliner yang luar biasa. Saya beruntung mengajak 15 orang pemenang sayembara SMS Kuliner dari XL, dan 15 teman-teman Jalansutra ke tempat ini bulan Januari yang silam.

Dalam kunjungan ke sekitar Izmir kali ini, saya juga sempat singgah ke “Bizim Ev” di Selcuk. Nama itu berarti “rumah kami”. Penamaan seperti itu membuat saya ingat beberapa rumah makan di desa-desa Prancis yang dinamai “Chez Nous”. Maknanya sama, yaitu rumah yang “dioperasikan” sebagai restoran. Dan rumah makan “Bizim Ev” ini benar-benar mengedepankan suasana sebuah rumah makan yang dikelola oleh sebuah keluarga.

Rumah makan ini terletak di sebuah desa, dengan halaman luas di depan maupun di belakangnya. Pemandangan sekelilingnya adalah bukit-bukit dengan kebun zaitun yang indah dipandang mata. Meja dan kursi makan ditata di teras depan, teras belakang, maupun di dalam rumah. Bila hari cerah, tentulah semua orang ingin makan di teras, sambil menyerap suasana pedesaan yang asri.

Rumah ini memiliki dapur terbuka yang sangat besar. Tepat tengah hari, makanan ditata di meja panjang di depan dapur. Setiap hari menunya diganti. Selalu ada sekitar 20 macam masakan tersaji di meja panjang itu. Karena rumah makan ini selalu menjadi tujuan bus-bus pariwisata, maka jenis makanannya pun dibuat agak menyesuaikan selera internasional. Artinya, tidak semua masakan dibuat dari daging kambing. Ada berbagai pilihan masakan dari daging sapi, ada pula dari daging ayam.

Jencu, anak perempuan tertua pemilik rumah makan ini, pintar berbahasa Inggris. Kepada para tamu, ia memberi penjelasan tentang setiap masakan yang dihidangkan. Bersama ibunya, ia melayani para tamu di meja panjang. Jencu sudah menikah dengan seorang pria Amerika Serikat. Sebentar lagi ia akan pindah ke sana dan memang merencanakan akan membuka “warung” serupa di negerinya yang baru.

Suasana di “Bizim Ev” betul-betul sangat homely. Konsep dapur terbuka itu mengingatkan saya pada “Gudeg Pawon” atau “Mangut Mbah Marto” di Yogya yang juga menyilakan tamunya makan di dapur. Sedangkan penyajian makanan di meja panjang mengingatkan saya pada warung tegal.

Lagi-lagi Gwen yang jadi kesengsem dengan sajian “Bizim Ev”. Soalnya, di situ ada banyak sajian jenis home cooking yang tidak dapat dijumpai di rumah makan besar di kota. Gwen khususnya menyukai berbagai jenis sayuran yang dipetik dari alam bebas. Padahal, jenis sayuran itu justru tidak dijual di pasar. Unik dan eksklusif!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com