[Tayang: Senin - Jumat]
Kisah Seorang Geologis dari Murghab
Barisan rumah muram dengan bayang-bayangnya yang seram menyambut kami ketika tiba di komplek perumahan yang ditinggali Dudkhoda di pinggiran kota Murghab. Seperti rumah hantu, lusinan rumah reyot yang atapnya ambruk dengan dinding yang mengelupas berbaris dan bersaf di komplek ini. Sepertinya hanya keluarga Dudkhoda yang tinggal di tempat ini. Rumah-rumah lain tak berpenghuni. Tetapi, barisan rumah yang hampir rubuh ini mengajarkan sesuatu yang paling berharga dalam perjalanan saya ke Murghab. Tentang cinta dan pengharapan.
Rumah Dudkhoda hanyalah sepetak ruangan berukuran 3 kali 4 meter yang dihuninya bersama istri dan dua orang anaknya, ditambah seekor kucing kecil.
"Musim dingin di Murghab sini dingin sekali, jadi rumah kecil itu yang bagus," Dudkhoda beralasan menutupi kekurangannya.
Puterinya yang baru berumur 9 tahun langsung sibuk mengiris kentang yang dibawa ayahnya ketika saya dan rombongan supir-supir truk Kyrgyzstan datang. Istrinya menyiapkan penggorengan penuh dengan minyak. Para supir dan kernet dari Kyrgyzstan duduk mengelilingi meja kecil. Tak ada listrik. Mata orang-orang Kirghiz berkelap-kelip memantulkan sinar lampu petromaks yang menggantung di langit-langit. Saya menangkap rasa lapar yang amat sangat di mata itu. Dudkhoda menyiapkan sepoci teh hijau. Tak ada gula. Ia tak punya uang. Harga gula mahal, 4 Somoni per kilogram.
Dia menggeleng.
“Sudah makan,” katanya.
Dia berbohong.
"Spasiba! Terima kasih!" hanya itu ucapan mereka sebelum meloncat masuk kembali ke dalam truk, meneruskan perjalanan ke Kyrgyzstan.
Kehidupan Dudkhoda memang mengenaskan. Saya baru tahu kemudian pria miskin ini ternyata seorang ahli geologi. Tapi, seperti sebagian besar orang di negara ini, dia juga pengangguran. Ketika delapan puluh persen penduduk GBAO adalah pengangguran, siapa yang butuh ahli geologi di kota terpencil di pegunungan seperti ini? Gajinya datang langsung dari ibukota Dushanbe. Dua ratus lima puluh Somoni per tahun, sekitar 70 dolar. Dengan uang sebesar itu, apa yang diharapkan? Setidaknya pemerintah memberinya tempat tinggal. Sebuah kamar sempit di komplek rumah hantu ini.
Lembaga swadaya masyarakat yang berbondong-bondong masuk wilayah GBAO memang memberi harapan bagi Dudkhoda dan keluarga-keluarga miskin lainnya di Murghab. Dudkhoda ikut program mikrokredit. Ia menerima 200 dolar untuk memulai usahanya. Tetapi bisnis apa yang bisa dimulai dengan modal segitu? Untuk transport barang saja sudah langsung habis. Usahanya gagal total.
Kini istrinya yang menjadi tulang punggung keluarga. Setiap malam perempuan yang wajahnya sudah berkerut di umurnya yang masih muda itu sibuk menyiapkan adonan tepung. Esok paginya tepung itu dioven. Roti nan yang dibuatnya kemudian dijual di pasar kota Murghab. Setiap hari ia menjual sepuluh nan, 1 Somoni per buah.
Kalau lagi mujur, 10 Somoni bisa didapatkan dari berdagang roti tebal itu. Namun, jumlah itu bukan keuntungan bersih. Untuk membuat sepuluh roti, dibutuhkan 5 kilogram tepung, yang biayanya 7 Somoni 50 diram. Paling banyak, keluarga Dudkhoda hanya mendapat untung 2 Somoni 50 diram per hari. Tak sampai 8.000 Rupiah. Itu sudah maksimal. Biasanya istri Dudkhoda hanya mampu menjual tiga bilah roti setelah menunggu seharian di pasar kota Murghab. Seperti komplek perumahan ini pasar itu juga laksana pasar hantu. Sepi pembeli. Tak heran gula dan beras sudah lama lenyap di atas meja makan keluarga Dudkhoda.
Dudkhoda memang sudah tidak punya apa-apa lagi.
Dia tak menyesali perginya Uni Soviet. Dia tak meratapi kejatuhan negara baru Tajikistan sejak awal kemerdekaannya. Dia tak menangisi hidupnya yang tak lebih dari bertahan menyambung hari. Hidup di jaman Uni Soviet memang lebih baik, semua orang punya pekerjaan. Tetapi otak tak bekerja, karena semua diatur dari pusat. Sekarang, di kehidupan yang hancur lebur ini, orang mau tak mau harus mempekerjakan otaknya.
"Pamir akan jadi lebih baik. Suatu hari nanti. Pasti," sebuah kalimat yang diucapkan dengan penuh keyakinan oleh seorang penduduk Murghab yang terpuruk dalam kekecewaan namun penuh oleh harapan. Sebuah kalimat dari komplek rumah reyot tak berpenghuni yang justru mengajarkan saya bagian terpenting dalam hidup: cinta dan pengharapan.
(Bersambung)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.