Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (20): Perayaan Akbar

Kompas.com - 29/08/2008, 07:49 WIB

           “Adalah ibu pertiwi yang membebaskan Tibet dari feodalisme. Dulu, di bawah Dalai Lama, perbudakan merajela. Tibet sangat feodal. Yang berkuasa adalah para lama dan pejabat tinggi, memperbudak rakyat miskin di mana-mana. Agama menjadi alat kekuasaan, bahkan lama pun bersenjata," kata Xiao Yang, seorang mahasiswi Universitas Peking.

           "Gadis dikawinkan dengan tiga pria kakak-beradik sekaligus. Satu laki-laki mengawini beberapa perempuan. Mereka tak berpikir lain-lain lagi, selain sembahyang dan mendewakan Dalai Lama berlebihan. Sekarang kamu lihat, pembangunan telah mengubah banyak kehidupan di sini. Orang Tibet tidak lagi terbelakang. Mereka berpendidikan, dan tempat ini pun maju,” lanjut dia lagi.

Xiao Yang tak mengada-ada. Tibet sudah banyak berubah, walaupun kebiasaan poliandri masih berlaku di desa-desa. Pemerintah China sekarang sedang giat membangun, salah satunya adalah jalur kereta api Qinghai Tibet (Qing-zang Tielu), rel kereta api tertinggi di dunia yang melintasi barisan gunung tinggi di puncak bumi. Mukjizat dari kemajuan teknologi modern ini akan semakin membuat Tibet terekspos pada kemakmuran dan modernisasi. Lebih banyak lagi barang dan manusia yang akan mengalir ke tempat yang dulunya terkucil ini.

Saya hanya seorang pengunjung yang melihat sekilas, tetapi saya merasakan ada dinding tak terlihat yang memisahkan orang Tibet dengan kaum pendatang etnis Han dan Uyghur. Ada rasa curiga. Bahkan kepada saya, orang asing yang sering diasumsikan sebagai orang Han.

Orang Tibet hidup dalam dunia mereka sendiri - dunia spiritual mereka, pemujaan dan ritual mereka, kosmologi mereka sendiri. Mereka mengorbankan waktu dan tenaga besar untuk ziarah ke tempat-tempat suci, dari pagi sampai malam hanya memutar roda doa dan tasbih, melantunkan doa tanpa henti. Dengan penuh kekhusyukan, orang Tibet tradisional terseok mengelilingi Lapangan Barkhor, bersujud di hadapan Potala dan Kuil Jokhang, menempelkan dahi di bendera suci, terperangkap dalam kepercayaan mistis mereka.

Suku pendatang, sebaliknya, sibuk meraup keuntungan di tempat yang sedang berkembang pesat ini. Toko-toko modern berjajar sepanjang jalan utama di Lhasa. Huruf Mandarin mendominasi pemandangan ibu kota. Tempat-tempat suci juga menjadi tempat berbisnis, menjual dagangan dan mengeruk keuntungan. Keberhasilan pembangunan, kemajuan ekonomi, peningkatan kecerdasan yang menjadi tolok ukur kesuksesan hidup.

Orang Tibet tidak melebur dengan etnik pendatang. Bahasa adalah salah satu kendala, kebanyakan orang Tibet tak bisa bahasa Mandarin. Tetapi saya tidak bicara bahasa di sini. Suku-suku minoritas di Yunnan juga banyak yang tak bisa berbahasa Mandarin, tetapi mereka merasa ikut memiliki identitas sebagai bangsa China. Di Tibet, semua itu terpendam dalam hati yang terdalam.

          “Tibet,” kata Li, “ibaratnya adalah anak tiri. Pemerintah China berusaha merebut hatinya, menghujaninya dengan hadiah pembangunan, kemajuan ekonomi, jalan tol, listrik, modernisasi. Tetapi si anak tiri tak tergerak hatinya.”

Ini mungkin bukan ucapannya sendiri, mungkin kutipan dari orang lain, karena saya sepertinya sudah pernah mendengar perumpamaan ini sebelumnya.

Lapangan di hadapan Potala semakin semarak. Pasukan tentara pemusik yang memainkan lagu kebangsaan menyedot perhatian banyak orang. Puluhan orang Tibet berkerumun di hadapan panggung hiburan, penasaran akan perayaan akbar yang akan berlangsung minggu depan. Celana jins, kaus ketat, rompi, sepatu kets, rok panjang, berpadu dengan celemek kotak-kotak, tasbih, dan roda doa. Modernisasi dan tradisi berharmoni.

Enam puluh lima tahun silam, di tempat kami berdiri ini, yang ada hanya jalan tanah, pengemis kelaparan, ratusan peziarah yang berserah diri sepenuhnya sambil merangkak ke arah Potala, dan orang-orang yang kostumnya sekarang sudah musnah dari peredaran.


(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com