Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (55): Tentara Kerajaan

Kompas.com - 17/10/2008, 08:40 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]


Macam-macam cara orang menikmati perjalanan. Ada yang bersantai, menikmati setiap pemandangan yang terhampar di sekeliling. Ada yang terburu-buru, mengejar target yang dipasang sendiri. Ada yang sambil bermeditasi, merenungi setiap detail yang ditampilkan oleh alam. Perjalanan hidup pun tergantung bagaimana kita ingin menikmatinya.

Namanya Rob, tingginya lebih dari 180 sentimeter, kekar dan gagah. Asalnya dari Amerika Serikat. Matanya biru, wajahnya tampan. Lulusan Phd dari salah satu universitas terbaik di muka bumi – Massachusetts Institute of Technology (MIT).

Dia datang ke Danakkya ketika langit sudah mulai gelap, ikut bergabung dengan kami menginap di Hotel Snowland di dusun ini. Pemondokan di sepanjang Annapurna memang punya nama garang-garang, menawarkan misteri dari puncak salju Himalaya.

           “Hey man, saya berencana mengelilingi Annapurna dalam waktu satu minggu saja. Ini adalah hari kedua saya,” kata pendatang baru itu.

Jörg langsung berseru,
          “Satu minggu? Kamu gila? Kamu bisa mati kalau tubuh kamu tidak teraklimatisasi dengan perubahan ketinggian yang tiba-tiba!”

Kami sudah menghabiskan empat hari dengan melenggang santai baru sampai di sini.

Jörg berkisah, ketika ia menginap di Pokhara, ada turis Jepang yang baru saja datang dari mengelilingi Sirkuit Annapurna. Rupanya orang Jepang ini bertaruh dengan kawannya, siapa yang bisa menyelesaikan putaran ini dalam waktu paling singkat. Alhasil, ia hanya terus maju dan maju, berangkat dari Pokhara berjalan kaki sampai ke puncak Thorung La, kemudian turun lagi ke arah timur sampai Pokhara kembali, semuanya hanya dalam waktu satu minggu. Ia tak tahu mengapa, sewaktu di puncak sana hidungnya mimisan dan dari telinganya bisa keluar darah. Kepala pusing tidak karuan. Ia tidak pernah mendengar apa itu Acute Mountain Sickness.

           “Orang Jepang itu sudah begitu dekat dengan kematian, tetapi ia tak menyadarinya!”
           “Seseram itu kah?” Rob ternganga. Ia pun tak menyadari bahayanya mengejar waktu menyelesaikan lintasan ini.

Esok paginya, rombongan kami sudah menjadi empat orang. Rob rupanya terpengaruh dengan omongan Jörg, memutuskan untuk berjalan perlahan-lahan bersama kami bertiga yang selalu berjalan dengan mode slow motion. Bahkan, lulusan MIT yang sedang mengejar waktu itu, sekarang melahap sarapan omelet dengan santai, belajar menikmati setiap kunyahan.

Jalanan mendaki curam, melintasi hutan hijau yang lebat. Kami mendaki terus, perlahan-lahan, sampai ke desa Thanchok. Di mana-mana terdengar dentuman ledakan keras. Ada pria berteriak-teriak, meminta kami untuk melintas cepat-cepat. Mereka sedang meledakkan dinamit untuk membangun jalan, dan ledakan itu menimbulkan longsor di mana-mana.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com