Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (156): Mandi Darah

Kompas.com - 11/03/2009, 07:51 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

 

Darah segar mengaliri punggung bocah-bocah kecil belasan tahun ini. Beberapa tetes terciprat ke wajah dan pakaian saya. Semua orang hanyut dalam nuansa perkabungan, peringatan empat puluh hari wafatnya Imam Hussain dalam perang Karbala.

Sepuluh Muharram tahun 61 Hijriyah, atau 680 Masehi, Hussain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad S.A.W, gugur dalam pertempuran di perang Karbala melawan khalifah Yazid. Lebih dari 1300 tahun berselang, umat Syiah di Pakistan memperingati peristiwa itu dengan bermandi darah.

Saya didampingi seorang pria tua berjenggot lebat yang mengaku sebagai petugas lapangan acara peringatan Chehlum hari ini. Pak tua bukan hanya memberi tahu saya harus ke mana dan meliput apa, malah masih membantu saya memanjat tembok dan pagar untuk mendapatkan angle yang bagus untuk liputan prosesi akbar ini.

Pelataran masjid Syiah Muzaffarabad dipenuhi oleh pria yang berbaris bersaf-saf, berhadap-hadapan. Mereka semua bertelanjang dada atau berkaus kutang putih. Bersamaan, mereka mengayunkan lengan kanan tinggi-tinggi, kemudian dilecutkan ke dada masing-masing dengan keras. Plak..! Kemudian lengan kiri diangkat, dipukulkan dengan kencang ke dada. Plak...! Berulang-ulang, bertalu-talu. Gemuruh pukulan serempak di dada ratusan orang berhamoni bak musik pengiring. Kadang lembut dan lambat, kadang cepat dan penuh histeria. Orang-orang ini seakan tersihir dalam maatam, memukuli dada sendiri sebagai lambang kesedihan. Sakit sudah tak terasa, ketika rasa cinta akan Imam Hussain merasuk sukma.

Mulut mereka melantunkan syair, menggemakan irama kesedihan akan kepergian seorang pemimpin besar yang bertempur melawan kebatilan. “O, jang-e-Karbala, Pertempuran Karbala,” sekelompok penyanyi berjubah hitam-hitam memimpin panjatan syair dengan suara bergetar, yang bila didengarkan terus-menerus bisa menerbitkan air mata.

Di sini sama sekali tak terlihat perempuan. Yang ada hanya laki-laki, mulai dari bocah enam tahunan sampai kakek tua berjenggot putih. Semua memasang raut muka yang sama, kesedihan.

Barisan jemaah berangkat dari dalam masjid, dipimpin oleh seorang bocah berwajah bule yang memegang tiang dengan gantungan puluhan kain menjulur warna-warni. Alam, atau bendera, adalah lambang suci acara perkabungan ini. Ratusan umat ini dibagi menjadi tiga rombongan. Setiap rombongan terdiri dari puluhan laki-laki dan anak-anak, serta beberapa orang penyanyi yang lagunya berirama monoton. Syairnya panjang sekali, semua tentang Ali, Hussain, dan Karbala. 

Rombongan bergerak maju lambat-lambat. Setiap tiga langkah, berhenti. Lantunan syair maatam melenting, diiringi pukulan di dada. Tak sampai sepuluh menit, dada-dada telanjang itu berubah warna menjadi merah padam, bahkan ada yang sampai berdarah.

Keluar dari pelataran masjid, parade ini menyusuri gang sempit, kemudian menuju jalan besar yang menuju ke pasar Medina. Jalan raya ini masih menampakkan gurat-gurat bencana gempa. Rumah-rumah roboh di kanan kiri, dan tumpukan bongkahan batu menjadi pemandangan utama. Di bawah keagungan gunung yang wajahnya sudah terpancung karena longsor, dikelilingi oleh rongsokan rumah hancur, orang-orang ini khusyuk menjalankan ibadahnya.

Plak...plak...plak.... bunyi daging di dada yang dipukul keras-keras, membahana. Yang tidak ikut dalam parade, penonton sepanjang jalan, ikut hanyut dalam nuansa ini. Mereka, termasuk saya, ikut memukul dada dengan satu tangan.

          “Hussain mullah! Hussain mullah! Ya Imam Hussain! Ya Imam Hussain!” jeritan anak-anak terdengar nyaring. Mereka sudah berada jauh di depan, di dekat perempatan Madina Chowk. Bocah-bocah belasan tahun ini bertelanjang dada, berdiri di tengah-tengah lingkaran. Masing-masing tangannya memegang rantai.

Zanjirzani! Sebuah nama yang selalu membangkitkan kenangan akan luberan darah. Dalam bahasa Persia, kata ini berarti mencambukkan rantai. Bukan rantai sebarang rantai. Lihat di ujungnya, ada beberapa bilah pisau kecil.

Plak...plak... plak... ditambah gemerincing logam. Daging punggung tersayat pisau tajam. Darah pun menciprat dari punggung-punggung mulus puluhan bocah kecil itu. “Imam Hussain! Imam Hussain!” mereka berteriak-teriak, sambil tanpa henti menyambitkan rantai pisau ke punggung mereka, berirama.

Yang sudah sangat parah lukanya langsung disergap para penonton, supaya tidak terhanyut dalam histeria. Dalam acara seperti ini, orang mudah lupa diri, terus menyambit punggungnya dengan pisau bahkan sampai tewas. Penonton bertugas mengawasi agar pelaku zanjirzani tak sampai melewati batas.

Bergabung dalam rombongan anak-anak yang menikmati zanjirzani, juga ada beberapa lelaki dewasa yang cacat karena gempa. Semangatnya dalam memukulkan rantai pisau sangat dahsyat. Dalam hitungan menit, kulit punggungnya sudah tak terlihat lagi, terbasuh merah darah.

Iring-iringan berjalan pelan-pelan. Lelaki dewasa masih berbaris melaksanakan maatam. Sudah banyak orang yang dadanya tercabik-cabik. Darah di mana-mana. Di bagian depan, sudah seratusan anak-anak yang punggungnya tersayat-sayat. Darah juga di mana-mana.

Parade ini berjalan lambat sampai ke perempatan Madina, kemudian berbalik arah lagi menuju masjid. Sudah hampir dua jam, mereka terus memukuli dada dan menyambitkan pisau ke punggung.

Menjelang senja, rombongan sampai kembali di pelataran masjid. Bocah-bocah dan lelaki dewasa berebutan pisau, kemudian mengambil tempat di tengah lingkaran. Acara zanjirzani dilanjutkan. Kini orang semakin histeris. Bukan hanya memukuli punggung, bahkan ada yang memukulkan pisau ke kepala.

Darah terus mengalir, sampai akhirnya gelap membungkus langit Muzaffarabad. Empat puluh hari masa berkabungan Imam Hussain berakhir sudah. Tetapi, Imam Hussain hanya satu dari sebelas imam yang hari kematiannya harus diperingati. Masih ada sepuluh Imam lain. Minggu depan, masa perkabungan untuk Imam Hassan, sudah akan dimulai.

(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Aktivitas Vulkanik Gunung Slamet Naik, Ratusan Pendaki Gagal Gapai Atap Jawa Tengah

Aktivitas Vulkanik Gunung Slamet Naik, Ratusan Pendaki Gagal Gapai Atap Jawa Tengah

Travel Update
Rute ke Gereja Ayam Bukit Rhema, Cuma 10 Menit dari Candi Borobudur

Rute ke Gereja Ayam Bukit Rhema, Cuma 10 Menit dari Candi Borobudur

Travel Tips
Kota Batu Cocok untuk Olahraga, Event Sport Tourism Akan Diperbanyak

Kota Batu Cocok untuk Olahraga, Event Sport Tourism Akan Diperbanyak

Travel Update
Lihat Sunrise di Gereja Ayam Bukit Rhema Harus Reservasi Dulu, Ini Cara dan Tarifnya

Lihat Sunrise di Gereja Ayam Bukit Rhema Harus Reservasi Dulu, Ini Cara dan Tarifnya

Travel Update
Perjalanan Salatiga-Yogya-Pacitan yang Indah, Menikmati Pesona Pantai Banyu Tibo dan Buyutan

Perjalanan Salatiga-Yogya-Pacitan yang Indah, Menikmati Pesona Pantai Banyu Tibo dan Buyutan

Jalan Jalan
Gereja Ayam Bukit Rhema di Borobudur, Pesona Sunrise Dikelilingi 5 Gunung

Gereja Ayam Bukit Rhema di Borobudur, Pesona Sunrise Dikelilingi 5 Gunung

Jalan Jalan
5 Hotel Dekat Ocean Park BSD, Bisa Jalan Kaki

5 Hotel Dekat Ocean Park BSD, Bisa Jalan Kaki

Hotel Story
5 Penginapan dekat Kebun Raya Cibodas

5 Penginapan dekat Kebun Raya Cibodas

Hotel Story
10 Tempat Wisata Keluarga Terbaik di Dunia 2024, Ada Resor di Bali

10 Tempat Wisata Keluarga Terbaik di Dunia 2024, Ada Resor di Bali

Jalan Jalan
7 Wisata Ramah Anak di Bandung, Cocok untuk Liburan Sekolah

7 Wisata Ramah Anak di Bandung, Cocok untuk Liburan Sekolah

Jalan Jalan
9 Wisata Malam di Solo, Kunjungi Saat Mampir

9 Wisata Malam di Solo, Kunjungi Saat Mampir

Jalan Jalan
6 Tips Penting untuk Merencanakan Liburan Keluarga

6 Tips Penting untuk Merencanakan Liburan Keluarga

Travel Tips
3 Mall Solo dekat Stasiun Purwosari, Bisa Jalan Kaki

3 Mall Solo dekat Stasiun Purwosari, Bisa Jalan Kaki

Jalan Jalan
Minimarket di Jepang dengan Latar Belakang Gunung Fuji Timbulkan Masalah

Minimarket di Jepang dengan Latar Belakang Gunung Fuji Timbulkan Masalah

Travel Update
Desa Wisata di Spanyol Binibeca Vell Terancam Ditutup Akibat Lonjakan Jumlah Wisatawan

Desa Wisata di Spanyol Binibeca Vell Terancam Ditutup Akibat Lonjakan Jumlah Wisatawan

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com