Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MTB Geser Kejayaan "Onthel"

Kompas.com - 21/12/2009, 17:07 WIB

Oleh MARZUKI SALIM

Di era tahun 1960-an hingga 1970-an, orang hanya mengenal sedikit jenis sepeda, yakni sepeda onthel dan sepeda kumbang atau disebut juga sepeda jengki, yang kebanyakan buatan Eropa, khususnya Belanda dan Inggris. Beberapa merek terkenal pada masa itu antara lain Gazelle, Fongers, Simplex, Batavus, Philips, Hercules, dan Raleigh. Pada masa penjajahan hingga perjuangan, sepeda-sepeda tersebut masih menjadi barang eksklusif dan hanya dimiliki orang-orang berstatus tertentu.

Di Indonesia perubahan besar dalam dunia persepedaan terjadi pada era tahun 1980-an, seiring dengan munculnya jenis sepeda gunung (mountain bike/MTB) yang kelahirannya dibidani pebalap AS, Gary Fisher, tahun 1976 di Marin County, California. Perlahan tapi pasti, sepeda jenis MTB ini menjadi booming dan akhirnya menggeser kejayaan sepeda onthel yang sudah eksis sejak zaman Belanda.

Berbagai merek pun muncul di pasaran, seperti Specialized, Scott, Gary Fisher, Haro, United, Cannondale, Trek, Giant, Optimist, Marin, dan Mongoose, yang kebanyakan diproduksi negeri Paman Sam dan Taiwan. Desain rangka sepeda gunung ini, yang dibuat khusus untuk kegiatan olahraga, simpel dan menarik, berbahan baku ringan (aluminium, karbon, titanium). Sistem transmisinya dilengkapi derailleur. Bentuk setang lurus dan rata-rata memakai ban ukuran 26 inci yang ber-knobby (berpentul-pentul untuk jalanan kasar dan berbatu).

Sejalan dengan perkembangan olahraga sepeda yang demikian pesat, lahirlah kemudian varian baru sepeda MTB, antara lain untuk cross country, downhill, free ride, 4 cross/dirt jump, all mountain, di samping jenis city bike atau commuter bike. Semuanya memiliki karakteristik sendiri-sendiri.

Kini sepeda jenis MTB sudah menguasai pasar lokal, dalam pengertian paling banyak dipergunakan masyarakat. Penggunaannya tidak hanya untuk olahraga, tetapi juga untuk kerja, sekolah, rekreasi bersama keluarga, atau sekadar berkeliling mencari angin segar di sekitar kompleks perumahan.

Sebagai gambaran, sebagian besar kaum pekerja atau buruh kecil di berbagai kota, khususnya kota-kota industri, menggunakan sepeda jenis MTB sebagai alat transportasi harian dari rumah ke tempat kerja dan sebaliknya. Sebagai pekerja berpenghasilan pas-pasan, mereka terkondisikan mengayuh sepeda setiap hari dengan jarak cukup jauh. Sepeda mereka pun terbilang standar dan bukan sepeda yang sudah dimodifikasi dengan berbagai komponen mahal seperti halnya pekerja kelas menengah ke atas yang tergabung dalam komunitas Bike to Work (B2W) atau komunitas pehobi sepeda lainnya.

Apalagi, harga sepeda MTB dan berbagai komponennya, terutama merek tertentu, seperti Shimano, terbilang mahal.

Bahkan, banyak komponen sepeda MTB yang harganya lebih mahal daripada harga komponen sepeda motor. Bila kita lihat di berbagai ruas jalan, tak sedikit pekerja rendahan yang mengayuh sepeda dengan kondisi yang sudah asal jalan, dengan rantai berderit atau pedal berdenyit akibat kurang perawatan.

"Onthel" bertahan

Lantas, bagaimana dengan keberadaan sepeda onthel yang di masa lalu menjadi tunggangan menak atau priayi itu? Apakah nasibnya sudah habis dilindas kemajuan zaman? Ternyata tidak! Sepeda tua atau sepeda kuno ini tetap bertahan dengan segala keunikan dan kekhasannya.

Sepeda-sepeda yang pernah berjaya di masa silam dan sudah tidak diproduksi lagi oleh pabriknya itu awalnya memang banyak yang "dipensiun". Sepeda tersebut teronggok kaku di pojokan rumah atau disimpan di gudang bersama barang-barang yang sudah tak terpakai. Namun, seperti benda tua lainnya, sepeda onthel ini kemudian dicari banyak orang, khususnya kolektor, karena akhirnya tergolong sebagai barang antik.

Tak hanya sebatas itu. Kegemaran kaum tua akan sepeda onthel ternyata menular juga kepada generasi masa kini. Maka, kemudian bermunculanlah berbagai perkumpulan sepeda onthel di berbagai kota, khususnya di Pulau Jawa. Onthel pun kembali bersinar.

Ciri komunitas ini sangat unik. Selain menggunakan sepeda tua atau kuno, mereka juga tampil dengan pakaian dan atribut lain yang serba jadul (zaman dulu), seperti pakaian para ambtenaar, tuan dan nyonya Belanda, pasukan Jepang, pejuang, petani, dan pendekar silat, termasuk beragam pernak-pernik yang aneh.

Di Bandung lahir sebuah perkumpulan sepeda onthel yang menamakan dirinya Paguyuban Sapedah Baheula (PSB). Perkumpulan yang bermarkas di Jalan Ahmad Yani Nomor 558, kawasan Cicadas, Bandung, ini didirikan pada 31 Januari 2005. Jumlah anggota kini mencapai 480 orang, yang tersebar di lima wilayah koordinator.

Menurut penuturan Ketua PSB periode 2009-2011 Yahya Johari, yang biasa dipanggil Aboy, PSB didirikan oleh tujuh penggemar sepeda onthel yang kerap bertemu saat mencari onderdil sepeda mereka di pasar loak Jatayu, Astanaanyar, Cihaurgeulis, Cihapit, dan Jalan Malabar. Sering bertemu serta tukar menukar informasi, pengalaman, dan onderdil, lama-kelamaan jumlah mereka bertambah menjadi 25 orang. Mereka akhirnya sepakat mendirikan perkumpulan dan menunjuk salah seorang di antara mereka, Ricky H Wijaya, sebagai ketua pertama untuk periode 2005-2009 dan menyepakati Jalan Diponegoro depan Museum Geologi sebagai tempat pertemuan pada setiap Minggu pagi.

Sebagai sepeda tua yang tak diproduksi lagi oleh pabriknya, sedangkan toko-toko sepeda sudah tak lagi menjual suku cadang, mereka tentu kesulitan mencari onderdil asli atau pernak-pernik sepeda mereka. Untuk itu, mereka tak segan-segan berburu onderdil hingga ke pelosok Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti Semarang, Yogyakarta, Blitar, Surabaya, dan kota-kota kecil lainnya.

"Onthel" luar negeri

Murahkah sepeda onthel? Ternyata lumayan mahal. Menurut Aboy, sebuah sepeda merek Gazelle Seri 11 yang masih orisinal di daerah Jawa Tengah dihargai sampai Rp 40 Juta. Aboy memiliki 12 sepeda, salah satunya merek Raleigh Tourist buatan Inggris tahun 1936 yang masih memiliki faktur pembelian dari toko dan surat tanda kepemilikan yang dikeluarkan Kepolisian Sektor Priangan. Sepeda tertua yang dimiliki mantan ketua PSB, Ricky H Wijaya, bermerek Veno buatan Belanda tahun 1898.

Lantas, apa saja kegiatan PSB? Menurut Aboy, mereka sering diundang untuk mengisi berbagai acara, baik yang bersifat lokal maupun nasional, seperti peringatan Bandung Lautan Api, Braga Festival, Car Free Day, Bandung Blossom, Kemilau Nusantara, dan Hari Lingkungan Hidup. Bahkan, pada 2007 PSB menyelenggarakan kegiatan Bandung Lautan Onthel yang diikuti 800 peserta se-Jawa dan Lampung.

Pada ulang tahun kelima akhir Januari 2010, mereka kembali menggelar acara serupa. Kali ini lebih besar karena akan diikuti peserta dari luar negeri, seperti Brunei, Singapura, Malaysia, dan Kanada.

MARZUKI SALIM Mantan Wartawan PR

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com