Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dawet Ayu, Segarnya Urbanisasi Nusantara

Kompas.com - 10/09/2011, 18:39 WIB

Oleh Gregorius M Finnesso, M Hilmi Faiq dan Aufrida Wismi Warastri

   Duduk di Alun-alun Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Rabu (17/8) petang, dan menikmati segelas dawet ayu terasa menyegarkan. Dawet bisa menyebar sampai Medan di Sumatera Utara hingga Abepura, Papua, di ujung timur Indonesia karena dawet rupanya bagian dari atribusi sosial dan budaya masyarakat pedalaman Jawa Tengah. Urbanisasi sejak dekade 1980-an, bahkan mungkin sebelumnya, ikut ”memikul” dawet ke seantero Nusantara.

   Dalam rumusan sastrawan Banyumas, Ahmad Tohari, minuman tradisional campuran tepung beras, santan, dan gula kelapa asli Banjarnegara ini menyebar ke sejumlah daerah karena mobilisasi massa yang terjadi pada tahun 1980-an. Jadi, bukan semata-mata karena perdagangan dawet ayu sendiri.

   Menurut Tohari, setidaknya ada tiga faktor yang mendorong keterampilan dan selera membuat dawet ayu itu booming. Ketiganya adalah perdagangan dan perkembangan ratusan industri jamu besar dan skala rumahan wilayah Maos sampai Cilacap, perdagangan alat pertanian yang banyak diproduksi di kawasan Banyumas dan sekitarnya, serta penyebaran petani gula kelapa yang memang amat potensial di sejumlah titik di Banyumas.

   ”Para pedagang dan petani ini diduga ikut menyebarkan dawet ke sejumlah daerah,” kata Ahmad Tohari, pencipta trilogi novel sohor Ronggeng Dukuh Paruk itu.

   Orang-orang Banjarnegara dan Banyumas itu diduga membuat dawet di mana pun mereka tinggal. Dari situlah dawet ayu khas Banjarnegara dikenal. Pedagangnya juga belum tentu warga asli Banjarnegara, tetapi nama dawetnya tetap dawet ayu khas Banjarnegara.

   Wahyono dari Humas Pemerintah Kabupaten Banjarnegara mengakui, ribuan warga Banjarnegara memang menyebar ke sejumlah kota di Indonesia untuk berjualan dawet ayu. Namun, ia belum tahu pasti berapa jumlah penjual dawet di luar Banjarnegara dan berapa omzet mereka. ”Mencarinya, susah itu. Namun, kami berusaha mendatanya,” tutur Wahyono.

   Di Medan, misalnya, awalnya pedagang dawet adalah warga Banjarnegara asli yang mengusahakan dawetnya secara tradisional. Namun, belakangan perdagangan dawet diusahakan oleh seorang juragan yang kemudian merekrut pedagangnya dari Banjarnegara. Juragan itu belum tentu orang Banjarnegara.

    Sultoni (25), misalnya, juragan dawet di kawasan Jalan Aksara, Medan, berasal dari Semarang. Ia mempekerjakan sekitar 100 orang yang ia rekrut dari Banjarnegara. Para pedagang itu tinggal menjajakan dawet dengan angkringan dan bahan yang sudah disediakan Sultoni. Para pedagang dibayar dengan sistem bagi hasil. Makan dan tempat tinggal sudah ditanggung oleh Sultoni.

   Sementara itu, di Denpasar, Bali, Hasanuddin, warga Jatilawang, Banyumas, berdagang sendiri tidak dengan sistem juragan. Dawetnya juga dikonsumsi turis asing yang datang ke Bali.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com