Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ironi di Bandara Internasional Lombok

Kompas.com - 04/10/2011, 04:38 WIB

Sore itu, Minggu (2/10), pelataran terminal Bandara Internasional Lombok, Nusa Tenggara Barat, dijejali lapak. Aneka barang dijajakan, mulai dari balon, kacang rebus, nasi bungkus, hingga durian. Beberapa orang dengan santainya menyantap penganan, duduk bergerombol hingga di depan pintu masuk, sementara anak-anak memainkan troli sebagai seluncuran.

Di pinggir landasan pacu, seribuan orang dari berbagai lapisan usia menyemut. Begitu tampak titik hitam pesawat di langit dan suara dengung pesawat mendekat, kerumunan itu segera bergerak mendekati pagar pembatas landasan pacu. Mereka memandang lekat dari balik kawat pesawat-pesawat yang lepas landas ataupun yang hendak mendarat.

Sebagian melongok kegiatan di dalam ruang check in dari balik kaca. Wajah-wajah mereka penuh rasa ingin tahu. Para calon penumpang seolah-olah berada dalam akuarium atau bahkan seperti dalam kerangkeng kebun binatang, yang dipelototi banyak pengunjung. Beberapa calon penumpang, kebanyakan turis asing, bereaksi dengan memotret wajah-wajah dari balik kaca itu.

Bagi banyak wisatawan asing, pemandangan itu barangkali sesuatu yang menakjubkan. ”Ini ajaib sekali. Bandara menjadi tempat wisata keluarga,” kata seorang pria asing, sambil geleng-geleng kepala.

Namun, bagi para warga, pesawat dan para penumpangnya itulah keajaiban. Akbar (52) mengajak istrinya, Rohaini (31), dan tiga anaknya dari Desa Batu Nyala, Kecamatan Raya Tengah, Lombok Tengah, untuk berwisata ke bandara itu.

Mereka datang bersama puluhan warga desa lainnya dengan menyewa dua angkot. ”Saya ingin mengajak anak dan istri melihat pesawat terbang,” kata Akbar, yang bekerja serabutan. ”Seumur hidup, mereka belum pernah naik pesawat. Jangankan naik, melihat pesawat langsung dari dekat pun belum pernah.”

Akbar sebenarnya sudah sering naik pesawat. Dia pernah bekerja sebagai buruh kebun sawit di Malaysia.

Karena pengalamannya naik pesawat itulah, Akbar yang tak tamat SD itu didaulat menjadi pemandu dadakan. Dia bertugas menunjukkan kepada tetangga dan keluarganya di mana harus beli tiket, apa gunanya troli, hingga di mana harus check in.

Impian Akbar dan warga desa itu sangat sederhana. Namun, di baliknya, tersirat ironi negeri ini. Bandara Internasional Lombok yang berada di Kecamatan Pujut di satu sisi adalah cermin kemajuan. Akan tetapi, di sisi lain, bandara itu menjadi etalase Indonesia yang mengenaskan. Lombok merupakan daerah tujuan wisata kedua setelah Bali, tetapi masyarakatnya, khususnya masyarakat Lombok Tengah, miskin dan nyaris tak tersentuh pembangunan.

Dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2009, tercatat sebanyak 187.585 warga dari 856.675 warga Lombok Tengah tergolong miskin. Angka penganggur di kawasan ini juga sangat tinggi. Dari sekitar 141.602 tenaga kerja, hanya 2.347 orang yang terserap lapangan kerja. Sebagian besar warga akhirnya memilih bekerja di luar negeri.

Bagi Inan Pame (51), bandara itu dulunya adalah lahan pertanian yang menghidupinya. Beberapa tahun lalu, Pame dan sebagian besar warga melepas tanah mereka seharga Rp 200.000 per are (satu are setara dengan 100 m2) untuk bandara. ”Di sini dulu tanah kami. Sekarang tidak punya tanah lagi, sudah dijual untuk bandara,” ujarnya.

Sejak itu Pame bekerja serabutan dan menjadi pedagang keliling. Pame dan puluhan petani setempat kini mencoba peruntungan dengan menggelar lapak di bandara baru ini. ”Di sini lebih laris, tetapi kami hanya diberi waktu dua hari, Sabtu dan Minggu. Mulai hari Senin (3/10) kami sudah tak boleh berdagang di sini,” kata Pame.

Namun, Pame bertekad tetap berjualan. Ia biasanya berdagang di lokasi yang terdapat keramaian. Ia mengejar rezeki ke mana pun sejak ditinggal suaminya dua tahun silam. Bandara baru yang megah di tengah lahan kering Lombok Tengah itu menjadi secuil harapan bagi Pame dan masyarakat kecil lainnya yang kini tidak punya lahan pertanian karena dilepas untuk pembangunan bandara.

Asa mereka sepertinya akan mental oleh aturan pengelolaan bandara internasional yang seharusnya steril dari lapak dan pedagang kaki lima.

Tak hanya masalah mental dan ketidaksiapan masyarakat, Bandara Internasional Lombok juga cenderung dipaksakan beroperasi walaupun infrastruktur fisiknya belum rampung betul.

Sejumlah fasilitas dasar yang dibutuhkan penumpang belum tersedia. Penumpang yang akan berangkat hanya dapat menggunakan troli sebatas pintu masuk keberangkatan. Selepas pemindaian menuju loket check in, penumpang terpaksa mengangkut sendiri barang bawaan mereka. Hidayat, calon penumpang tujuan Bali, yang membawa banyak perlengkapan pendakian terpaksa menyeret ransel-ransel beratnya ke tempat check in.

Beberapa turis asing, yang membawa papan selancar dan tas-tas besar, beberapa kali adu argumen dengan petugas bandara yang dengan tegas melarang troli lewat pintu masuk Bandara. ”Tak ada di bandara mana pun di dunia troli tidak boleh masuk ke ruang check in. Ini jelas menyulitkan penumpang yang membawa barang banyak,” kata Budiawan, calon penumpang tujuan Bali.

Fasilitas bangunan lain pun belum sepenuhnya terpasang. Suasana di dalam toilet laki-laki dan perempuan remang-remang lantaran lampu-lampu belum terpasang sehingga menyulitkan pengguna. Tempat pembuangan sampah juga belum tersedia sehingga sampah dari warga yang menonton aktivitas bandara dan pedagang yang menggelar dagangan berserakan.

Bandara yang mulai beroperasi 1 Oktober 2011 itu terkesan belum sepenuhnya siap. Sisa material bangunan masih terlihat. Toko-toko dan tempat makan di lantai dua terminal keberangkatan juga belum semuanya beroperasi.

Bandara yang seharusnya bisa menjadi etalase bagi pariwisata Lombok justru jadi bumerang. Apalagi, membangun bandara ternyata juga bukan melulu fisik. Lebih penting lagi, menyiapkan masyarakat agar tidak terkaget-kaget.... (AIK/INE/ANG)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com