Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Busan, Kami Datang...

Kompas.com - 18/01/2012, 09:51 WIB

Oleh: Budi Suwarna

PAGI di Bandara Internasional Incheon, Seoul. Ribuan turis dari berbagai negeri laksana kawanan burung yang siap bermigrasi ke berbagai penjuru Korea Selatan demi mencicipi musim dingin yang indah.

Salju seputih kapas telah turun di Seoul, menutupi bukit, lembah, jalan, dan pohon. Musim telah menyerap sebagian warna alam dan hanya menyisakan pemandangan berwarna hitam, abu-abu, serta putih. Kabut membuat segalanya tampak lebih lembut di mata. Memandang Seoul dari ketinggian seperti memandang lukisan hitam-putih yang dibuat dengan tinta china.

Hari itu, Selasa (27/12/2011), temperatur udara melorot hingga 9 derajat celsius di bawah nol. Angin bertiup lembut membawa serta udara dingin yang langsung memeluk tubuh lantas meresap hingga tulang. Nyatanya, orang tidak terlalu peduli dengan udara dingin. Mereka tetap bergairah untuk bepergian ke berbagai kota.

Isu siaga perang pascakematian pemimpin Korea Utara, Kim Jong Il—musuh bubuyutan Korsel—sepertinya tidak mereka hiraukan. ”Sampai sekarang (sepekan setelah kematian Kim Jong Il) tidak ada perang. Kehidupan berjalan normal seperti yang Anda lihat,” ujar Seounkyu Park, warga Korsel yang berprofesi sebagai pembuat film.

Lilik Teguh Pambudi, mahasiswa Indonesia di Korsel, menambahkan, ”Isu perang Korsel-Korut tidak dibicarakan orang kebanyakan, apalagi mereka sedang menikmati liburan akhir tahun.”

Kami berada di antara orang-orang yang hendak bepergian lewat Incheon. Dan, tujuan kami adalah Busan—kota pelabuhan yang ramai di selatan Seoul. Perjalanan kami tempuh dalam waktu sekitar satu jam dengan pesawat yang terbang rendah. Dengan demikian, kami bisa melihat bukit dan lembah di seantero Busan dari ketinggian. Gedung-gedung beton tumbuh di punggung bukit, sementara jalan dan rel kereta api melilit kaki bukit.

Cuaca di Busan lebih hangat. Temperatur berkisar minus 3 derajat celsius hingga 5 derajat celsius. Salju belum turun setidaknya hingga Februari nanti. Namun, angin dingin berembus lebih kencang dan menghunjam dibandingkan dengan di Seoul.

Kami mampir ke Nampo-dong dan Gwangbok, salah satu kawasan belanja dan tempat menongkrong paling populer di Busan, Rabu siang. Muda-mudi dengan baju musim dingin trendi bergandeng tangan melintasi jalan yang membelah pertokoan. Sesekali mereka berhenti menengok proses shooting film Indonesia, Hello Goodbye, produksi Falcon Pictures, yang mengambil tempat di sebuah kedai kopi. Mereka memotret suasana shooting dan berlalu.

Di kawasan ini, toko cendera mata selalu ramai pengunjung. Kami mampir ke Seoul Souvenir Shop yang menjual cendera mata berharga murah meriah. Pengelolanya bernama Jung, yang bisa menyebutkan harga barang dagangannya dalam bahasa Indonesia. ”Ini seribu (won), ini delapan ribu, ini lima puluh ribu,” katanya. Satu won ketika itu bernilai sekitar Rp 8.

Hanya itu yang dia bisa. Ditanya apa pun dengan bahasa Inggris atau Indonesia, dia nyaris selalu menjawab, ”seribu, tiga ribu, delapan ribu.” Bahkan, ketika kami iseng-iseng bertanya dalam bahasa Sunda, ”Jang...jang, ieu teh naon? (mas-mas, ini apa sih?)”, dia memberi jawaban yang sama, ”Seribu, tiga ribu, delapan ribu,” sambil menunjuk barang yang dia maksud.

Kami tertawa terbahak-bahak dan ia pun ikut tertawa. ”You’re my boss. Gamsahamnida (terima kasih),” katanya.

Hari itu semua terasa menyenangkan hingga tak terasa malam telah tiba. Nampo-dong kian ramai dan cantik. Pohon-pohon artifisial dan lampu-lampu bersinar terang. Ada panggung hiburan yang menggelar lomba karaoke di sudut Nampo. Beberapa kelompok gadis cantik dan laki-laki tampan bergantian naik ke atas pentas untuk menyanyi dan menari atraktif ala girlband dan boyband.

Seusai menonton acara itu, sebagian penonton bergerak ke pasar ikan tidak jauh dari Nampo-dong. Seperti di kawasan Marunda, pengunjung memilih ikan yang baru diangkat dari laut dan menyerahkannya ke kedai-kedai untuk dimasak. Malam yang indah kami tutup dengan makan di sebuah kedai.

Menara Busan

Esok hari, kami berkunjung ke Youngdusan Park, taman publik yang dikelola sangat apik. Letaknya di belakang kawasan Nampo-dong, di puncak sebuah bukit. Kita tidak perlu bersusah payah menaiki ratusan anak tangga sebab tersedia tangga jalan hingga puncak.

Di gerbang taman, patung Chungmoogong atau Admiral Yi Sunshin berdiri gagah seperti menyambut setiap pengunjung. Sorot mata patung itu mengarah lurus ke kawasan pelabuhan Busan dengan latar belakang bukit biru. Di belakang patung terhampar plaza nan luas. Pengunjung berkumpul di sini sambil menikmati pemandangan sore yang berkilauan cahaya. Beberapa pasang kekasih menambatkan ”gembok cinta” di pagar taman sambil berharap cinta tertambat hingga waktu memisahkan mereka.

Menjelang sore, para pengunjung naik ke puncak Menara Busan yang berdiri menjulang di ujung taman. Dari puncak menara itu, kita bisa melihat kota Busan secara keseluruhan, sama halnya kalau kita melihat Jakarta dari puncak Tugu Monas.

Pemandangan kota Busan yang terhampar terasa begitu damai. Kabut tipis yang menyelimuti kota membuat cahaya lampu terasa lembut dan romantis. Sampai-sampai kita lupa, negeri itu masih dalam status perang melawan Korut sejak 50 tahun lalu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com