Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Finisterre, Hujan Jatuh di Santiago

Kompas.com - 02/12/2013, 12:31 WIB
BENTANGAN muka laut seperti permadani biru sebening berlian, menyentuh batas cakrawala. Angin membingkai ruang-waktu yang terasa tidak linier, membuat yang lalu, sekarang, dan yang akan datang, lebur menjadi satu.

Ketika tiba di bagian terujung Teluk Finisterre atau Faro Cabo Fisterra, di tepi Samudra Atlantik, suasana entah yang pekat melesak ke dalam batin, membersitkan pertanyaan, ”Siapa Aku?”, ”Dari mana asalku, dan ke mana aku menuju?”

Punggung Mercu Suar Fisterra, di puncak Monte Facho, adalah tubir laut hitam–atau Mare Tenebrosum, nama Samudra Atlantik abad pertengahan. Konon, Monte Facho adalah tempat keramat pada masa pra-sejarah Celtic, suku asli Galicia, Spanyol.

Jalan setapak menurun yang dibingkai tebing curam, mengantar ke bibir pantai, yang sebenarnya zona di mana laut bercumbu dengan karang-karang raksasa. Praia do Mar de Fora dan pemandangan yang mengelilinginya, adalah salah satu pantai yang spektakuler di ujung terbarat Semenanjung Iberia.

Hilang dalam diam

Di atas salah satu batu, hanya setengah jengkal dari permukaan air, Mariza duduk bersila menghadap laut lepas. Dari kejauhan, sosoknya seperti bayangan dalam cahaya matahari pukul tiga petang.

Setelah sekitar 20 menit, bayangan itu bergerak, lalu berdiri dan kembali menyusur jalan setapak yang menanjak. Setiba di atas, pandangannya menyapu pucuk mercu suar setinggi 238 meter dari permukaan laut yang dibangun tahun 1823 itu.

”Sekarang aku tahu kenapa Finisterre dikatakan sebagai ujung akhir bumi,” ujarnya kembali ke atas. ”Kalau tidak harus balik, mau rasanya duduk di sini sampai matahari terbenam. Rasanya nyaman sekali… susah bilangnya.”

Menjelang musim gugur, di akhir bulan September, matahari baru mulai tenggelam pukul delapan malam. Kami hanya punya waktu 1,5 jam di tempat itu.

KOMPAS/MARIA HARTININGSIH Mercu Suar Fisterra di puncak Monte Facho. Konon Monte facho adalah tempat keramat pada masa prasejarah Celtic, suku asli Galicia, Spanyol.
Kata-kata kehilangan daya ungkap, juga saat duduk di atas batu di lereng dengan ketinggian 20 meter dari muka laut. Terasa ada tarikan magnet dari segenap penjuru, membuat tubuh larut bersama partikel-partikel di alam semesta. Rasanya semua hilang, hanya detak jantung yang tertinggal...

Akhir dan awal

Ketika bumi masih dianggap dataran, Teluk Finisterre–berasal dari kata Latin, Finis Terrae–diyakini sebagai akhir dari bumi yang diketahui. Banyak perjalanan berakhir di teluk itu, di mana matahari menghilang di kaki langit Atlantik. Begitu terkesannya, Jenderal Romawi Decimus Junius Brutus, penguasa Galicia masa itu, percaya, di situlah mentari mati di ambang malam.

Wilayah sekitarnya yang kaya sejarah, dipercaya memiliki daya magis. Menurut legenda, di situlah, masyarakat dari peradaban kuno semitik Phoenicia, membuat altar Ara Solis untuk menyembah matahari. Teluk itu juga menyimpan sejarah pertempuran dan tragedi di laut, yang bisa direfleksikan sebagai pertempuran dan tragedi di lautan kehidupan setiap manusia yang menyinggahinya.

Sampai saat ini, beberapa peziarah yang melakukan Camino Santiago akan melanjutkannya ke Camino Finisterre, sekitar 87 kilometer dari Santiago de Compostela.

”Aku tidak beragama,” ujar seorang peziarah dari Minnesota, AS, yang berjalan kaki lima hari dari Santiago ke Finisterre, ”Katedral Santiago bukan tujuanku. Aku melakukan ini semua untuk memenuhi panggilan jiwaku.”

Kami melanjutkan perjalanan ke Finisterre dengan alasan yang lebih puitik, dengan naik bus wisata–bukan jalan kaki seperti selama delapan hari menuju Santiago de Compostella. Tak ada ritual mandi di laut, tak ada pakaian dibuang, seperti biasa dilakukan peziarah sebagai simbol pembaruan diri.

KOMPAS/MARIA HARTININGSIH Senja di Muxia.
Kami menanggalkan kekhawatiran dan ketakutan di tugu penanda nol kilometer. Penanda akhir ziarah itu, adalah penanda awal yang baru bagi kami untuk melanjutkan ziarah riil kehidupan di Bumi.

Muxia

Gerimis menari bersama angin, ketika kami tiba di Muxia, 29 kilometer ke ujung utara Finisterre. Wilayah ini, bersama Teluk Finisterre, merupakan tujuan akhir peziarah Camino Finisterre. Pemandangan laut sekitar Muxia, liar dan dramatik, membuat orang menahan napas. Sangat memesona.

Tempat itu merupakan tempat ibadah penting kepercayaan Pagan, tetapi saat ini tradisi Celtic dan Kristiani hidup bersama di Muxia. Gereja Our Lady of the Boat menggantikan kapel kecil tempat pemujaan Celtic pada Abad Pertengahan.

Muxia juga penuh legenda. Menurut pemandu kami, Patricia, Perawan Maria muncul di perahu batu diiringi para malaikat untuk menyemangati Santo Jakobus, Rasul yang mengalami banyak kesulitan saat menyebarkan ajaran Kristiani pada masyarakat Celtic. Konon, batu raksasa, ’Pedra de Abalar’ merupakan lambung kapal Sang Perawan; batu ’Pedra dos Cadris’ adalah badan kapal dan ’Pedra do Temon’, kemudi kapalnya.

Setiap tahun ribuan orang berusaha menggerakkan ’Pedra de Abalar’ yang diyakini memiliki kekuatan ajaib untuk merealisasikan mimpi. Namun, kata tradisi, batu itu hanya akan bergerak di bawah kaki mereka yang bersih dari dosa (sic!).

’Pedra de Cadris’ yang bentuknya seperti batu ginjal, kata Patricia, memiliki kekuatan penyembuh untuk penyakit punggung dan pinggang, rematik dan ginjal. Mereka yang percaya, berjalan merayap sembilan kali mengelilingi cekungan bawah batu untuk merasakan penyembuhan.

KOMPAS/MARIA HARTININGSIH Pedra de Cardis di Muxia, yang bentuknya seperti batu ginjal.
Kami meninggalkan Muxia saat matahari meredup. Bayangan Finisterre pelan-pelan pudar ditelan malam. Di Santiago, kami disambut mendung dan Moonlight Serenade dari denting piano pub di seberang hotel. Hujan jatuh keesokan hari. Akhirnya! Teringat Rui, pemandu kami selama melakukan Camino Santiago, ”Kalian belum tiba di Santiago, kalau tidak merasakan hujannya.”

Sepotong puisi penyair Spanyol, Federico Garcia Lorca (1898-1936), melintas begitu saja, It rains in Santiago/ my sweet love/ while camellia of the air/ shadowy shines the sun…. (Maria Hartiningsih)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com