Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sudirman, Memadukan Wisata dan Konservasi

Kompas.com - 18/07/2016, 16:33 WIB

GELIAT pariwisata di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, dimanfaatkan Sudirman (52) untuk menjalankan misi konservasi laut di kampung halamannya, di Desa Waha, Kecamatan Wangi-Wangi. Melalui kelompok yang didirikannya lima tahun lalu, dia membuktikan konservasi dan pariwisata bisa saling menghidupi.

"Dulu saya tidak tahu apa-apa soal karang. Namun, sekarang, kalau ada orang yang mau menginjak karang, saya tawarkan lebih baik injak kepala saya saja,” kata Sudirman saat ditemui di Desa Waha, akhir Juni lalu.

Kalimat yang dilontarkan Sudirman itu mengalir lancar dan tegas. Ia tak bermaksud berkelakar dengan perkataannya itu. Sudirman sungguh-sungguh ”rela” kepalanya dijadikan tempat orang berpijak saat snorkeling ketimbang orang itu menginjak karang yang dapat merusak biota laut.

Itulah salah satu gambaran keseriusan Sudirman dalam menjaga kelestarian terumbu karang di Wakatobi. Sudirman mendirikan Waha Tourism Community (WTC) pada 2011.

Kelompok itu menjalankan usaha wisata berbasiskan komunitas warga di Desa Waha, terutama berupa jasa panduan dan penyewaan peralatan selam dan snorkeling.

Namun, yang membedakannya dengan operator-operator wisata sejenis adalah WTC didirikan bukan dalam semangat berbisnis, melainkan konservasi. Dengan kata lain, bisnis wisata dipakai sebagai alat untuk mendukung program konservasi swadaya yang dilakukan warga Waha.

”Dari setiap rupiah hasil usaha WTC, sebanyak 60 persen dialokasikan untuk kegiatan konservasi dan 40 persen sisanya untuk organisasi,” ujar Sudirman.

Dengan model ini, pariwisata dan konservasi dapat berjalan dalam satu harmoni hubungan simbiosis mutualisme alias saling menguntungkan. Uang dari pariwisata dimanfaatkan untuk menjaga terumbu karang yang keindahannya dapat terus dinikmati wisatawan.

Desa Waha terletak di sisi barat Pulau Wangi-Wangi, salah satu dari empat pulau utama di Wakatobi. Halaman desa itu adalah laut lepas yang berlantaikan hamparan terumbu karang beraneka rupa dan rona di dasarnya.

Jarak Waha dari Wanci, ibu kota Wakatobi, hanya sekitar 10 kilometer ke arah utara. Aksesnya pun sangat mudah mengingat Wanci adalah ”pintu gerbang” bagi pelancong yang datang ke Wakatobi lewat jalur udara.

Oleh karena itu, Waha menjadi salah satu titik wisata menyelam dan snorkeling yang banyak dikunjungi wisatawan, tanpa perlu repot menyeberang ke pulau-pulau lain di Wakatobi. Ada sembilan titik menyelam dan snorkeling yang tersebar di perairan Waha dan sekitarnya.

”Kesembilan titik itu berada di empat daerah perlindungan laut sepanjang sekitar 6,5 kilometer yang upaya pelestariannya didukung WTC,” kata Sudirman.

Lingkungan

Sudirman awalnya adalah guru sekolah dasar dan perangkat Desa Waha. Jauh sebelum berkenalan dengan konservasi terumbu karang, di desanya dia telah dikenal sebagai orang yang aktif menjaga lingkungan hidup.

Sudirman menceritakan, Desa Waha dulunya merupakan perkampungan pesisir miskin yang tak terawat. Warga seolah tak acuh dengan kondisi lingkungan tersebut. Praktik pengeboman dan pembiusan ikan pun marak di perairan desa yang mayoritas penduduknya menjadi nelayan itu.

”Saya berpikir, mungkin kondisi kemiskinan itu karena kita tak peduli dengan lingkungan. Dari situ, saya mulai menanamkan rasa peduli lingkungan kepada anak-anak didik di sekolah dengan cara kerja bakti membersihkan sampah dan menanam pohon. Kegiatan itu kemudian saya kenalkan kepada warga desa juga,” ujarnya.

Pada 2006, Waha masuk menjadi salah satu daerah kerja Coral Reef Rehabilitation and Management Program atau biasa disingkat Coremap. Program pemerintah yang juga didukung sejumlah lembaga luar negeri itu bertujuan merehabilitasi dan mengelola pemanfaatan terumbu karang secara berkelanjutan.

Di situlah perkenalan Sudirman dengan terumbu karang dimulai sehingga ia pun memperluas misi konservasinya. Lelaki yang sebelumnya telah aktif dalam kegiatan konservasi lingkungan pesisir itu pun ditunjuk sebagai motivator desa.

Sudirman mendampingi tiga kelompok di Waha. Mereka bertugas menyadarkan dan memberdayakan masyarakat serta mengawasi terumbu karang. Salah satu tugas besarnya adalah menekan praktik pengeboman dan pembiusan ikan dengan sosialisasi dan penyadaran kepada para pelaku.

Kearifan lokal

Selain pendekatan ilmiah dengan memaparkan arti penting terumbu karang bagi ekosistem, Sudirman juga memakai kearifan lokal masyarakat Buton dalam mengampanyekan konservasi laut. Salah satunya adalah legenda ”Untu Wa Ode” yang intinya melarang warga merusak laut agar terhindar dari bencana.

Usaha itu pun berbuah manis. Sudirman mengatakan, sebelum program Coremap, hanya terdapat 29-30 persen terumbu karang yang berkondisi baik di perairan Waha. ”Pada 2010, terumbu karang yang berkategori baik meningkat menjadi 69-70 persen,” katanya.

Namun, pada tahun yang sama, program Coremap di Waha berakhir. Sudirman, yang tidak menghendaki upaya pelestarian tersebut kandas, memutuskan mendirikan WTC. ”Saya mau konservasi ini berlanjut agar anak-cucu bisa menikmati terumbu karang juga. Tidak mungkin kita menunggu program pemerintah terus,” ucapnya.

Melalui 60 persen hasil usaha WTC itulah program-program konservasi swadaya dapat terus berlanjut di Waha. Selain sosialisasi rutin tentang pelestarian lingkungan laut yang digelar sekali dalam tiga bulan, WTC juga membiayai pengawasan dan transplantasi terumbu karang serta pembuatan taman biota laut untuk kerang raksasa (kima).

Di luar itu, WTC mendanai pelatihan dan modal usaha produktif untuk tujuh kelompok yang menunjang kegiatan pariwisata, seperti pemandu wisata, kuliner, dan kerajinan tenun. ”Kelompok-kelompok usaha itu kemudian menyisihkan 10 persen keuntungannya untuk konservasi juga,” ujar Sudirman.

Kepada wisatawan, lelaki yang masih kerap mendampingi aktivitas snorkeling atau menyelam itu selalu mengingatkan agar wisatawan tidak menyentuh karang agar tidak rusak. Salah satunya dengan prinsip ”lebih baik injak kepala daripada karang” seperti yang dikemukakannya di awal tulisan ini.

Cara lain adalah dengan mengarahkan wisatawan pemula untuk snorkeling di daerah karang yang agak dalam dengan memakai pelampung. ”Maksudnya supaya kaki tidak menyentuh karang,” ujar Sudirman dengan bersemangat. (Mohamad Final Daeng/Antony Lee/Saiful Rijal Yunus)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com