Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjalanan Melebur Garis Batas

Kompas.com - 18/10/2011, 08:36 WIB
Ni Luh Made Pertiwi F

Penulis

KOMPAS.com - Manusia, yang sejatinya cuma entitas yang satu, memiliki beragam identitas. Ia dibentuk oleh beragam ras, ditempa oleh beragam aspek kultural, dan tumbuh menjadi sosok yang sarat nuansa. Acapkali, kekayaan nuansa itu membentangkan garis-garis batas yang memisahkan manusia. Melangkah melewati garis-garis demarkasi itu melahirkan pengalaman eksistensial yang unik. Dibutuhkan keberanian. Buka cuma itu, dibutuhkan juga kegilaan.

Itulah yang dilakukan Agustinus Wibowo, seorang petualang kelahiran Lumajang, Jawa Timur, 1981. Dari Afghanistan, ia menyeberang menelusuri Asia Tengah. Sebuah sungai selebar 20 meter membentangkan perbedaan peradaban hingga satu abad. Ia menjelajahi Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Uzbekistan, hingga Turkmenistan.

Ia menerabas batas-batas politikdan sosio-kultural. Ia juga menerabas batas-batas dirinya dan melebur bersama pengalaman masyarakat di negeri-negeri jauh. Ia pantang naik pesawat terbang. Seluruh perjalannya ditempuh melalui jalur darat: naik bus, pedati, keledai, hingga jalan kaki.

Agus membukukan kisah perjalanannya di “Negeri-negeri Stan” tersebut dalam buku “Garis Batas”. Ini adalah buku kedua Agus yang sebelumnya telah meluncurkan “Selimut Debu”, kisah perjalanannya di Afghanistan. Cerita perjalanan di “Garis Batas” adalah kompilasi dari cerita perjalanan yang pernah dimuat di Kompas.com secara berseri pada tahun 2008 dalam kolom Petualang di rubrik Travel.

Cerita Agustinus dalam sebuah buku tentu lebih kaya. Apa saja warna baru dalam kisah Agus di “Garis Batas”, berikut petikan percakapan Kompas.com dengan Agustinus dalam sebuah kesempatan.

Di buku Garis Batas ini, ceritanya sebagian sudah dimuat di Kompas.com. Sekarang diterbitkan menjadi buku. Apa yang baru dari buku ini?

Di Kompas.com itu semacam catatan perjalanan yang idenya sudah terfragmentasi, jadi tulisan hari ini saya ngapain, besok saya ngapain. Dalam membuat buku sastra perjalanan harus ada alur yang kuat dan benang merah apa yang akan diangkat. Juga ada garis merah kesatuan cerita-cerita dari keseluruhan buku itu. Dari cerita-cerita yang dimuat di Kompas.com, saya tata ulang dan distrukturisasi, apa sih garis merah yang menghubungkan negara-negara itu dan apa yang bisa kita  pelajari dari sana.

Apa yang menjadi benang  merah di buku ini?

Mungkin dari perjalannya dulu ya.  Saya  mulai dari tepian sungai Amu Darya. Sungai ini memisahkan Afghanistan dengan negara-negara bekas Uni Soviet yaitu Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan. Saya mulainya dari sisi sungai Amu Darya yang memisahkan Afghanistan dan Tajikistan. Sungai ini adalah perbatasan yang memisahkan sebuah bangsa yang  sama sebenarnya. Tapi, karena dipisahkan oleh sungai kehidupan orang-orang di kedua sisi ini berbeda sampai 100 tahun jauhnya.  Kalau boleh saya katakan sungai yang lebarnya hanya 20 meter memisahkan kehidupan sampai seabad.

Di Afghanistan saya masih dorong keledai, jalannya bergelunjak, tidak ada listrik, tidak ada sekolah. Tapi tepat 20 meter di seberang sana jalanan beraspal, mobil lalu lalang. Jadi orang di Afghanistan lihat mobil lalu lalang tapi tidak merasakan rasanya duduk di dalam mobil.

Jadi dalam hati, saya bertanya-tanya kenapa harus ada perbatasan. Benar tidak sih impian orang  Afghanistan saat memandang ke seberang sungai sana memang  seindah impian mereka. Sepertinya di Tajikistan begitu modern, bebas, punya mobil, dan sangat berpendidikan. Apakah benar kehidupannya seperti itu? Jadi aku memutuskan menyebrang ke Tajikistan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com