Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pak Supadi, Saksi Hidup Perjuangan Jenderal Sudirman di Pacitan

PACITAN, KOMPAS.com – Monumen Jenderal Sudirman di Desa Pakis Baru, Kecamatan Nawangan, Pacitan tidak hanya memiliki patung Sang Jenderal setinggi delapan meter untuk mengenang jasa perjuangannya.

Sekitar 1,6 kilometer dari monumen, terdapat sebuah rumah yang dulu menjadi rumah tinggal Jenderal Sudirman sewaktu bermarkas di Pacitan. Sang Jenderal bermarkas di Desa Pakis Baru pada tanggal 1 April - 7 Juli 1949.

Perjuangan Jenderal Sudirman di rumah ini ternyata tidak hanya bisa disaksikan melalui peninggalan bangunan saja. Kisah perjuangan Sang Jenderal ketika bermarkas di sini ternyata bisa diperoleh langsung dari seorang saksi hidup.

Saksi hidup itu bernama Supadi. Pria berusia 77 tahun itu masih ingat ketika Jenderal Sudirman dan pasukannya pertama tiba di Desa Pakis Baru, 1 April 1949 silam. Saat itu, usia Pak Supadi masih tujuh tahun.

Jenderal Sudirman Tiba di Pakis Baru

Pak supadi bercerita mengenai sosok Jenderal Sudirman yang pantang menyerah, meski saat itu ia dalam keadaan sakit paru-paru. Bahkan untuk berpindah, ia ditandu oleh pasukannya. Jenderal Sudirman kemudian memilih tinggal di rumah seorang warga, Karsosemito.

“Pak Dirman datang ke sini belum ada kamar tidurnya, masih terbuka. Saat simbah (Jenderal Sudirman) akan tidur, ayah saya (Karsosemito) diminta mencari penutup dari anyaman bambu, ditali, dan disandarkan pada tiang” ujar Supadi dalam bahasa Jawa krama saat ditemui Kompas.com, Kamis (07/03/2019).

Hal itu untuk mengantisipasi agar jangan sampai ada orang yang membeberkan keberadaan Sang Jenderal kepada musuh. Menurut Pak Supadi, di sinilah Jenderal Sudirman paling lama bermarkas dan menjadi tempat yang paling disukainya.

Menurut cerita Pak Supadi, ketika tanggal 13 Apirl 1949 ada ratusan pasukan yang bermarkas di Desa Pakis Baru. Mereka kemudian dibagi menjadi enam kelompok. Mereka yang tinggal bersama Pak Dirman adalah ajudannya, salah satunya Suparjo Rustam.

“Saat Pak Dirman diminta tidur di tempat Pak Suparjo, ia tidak mau. Yang dipilih adalah kamarnya yang tertutup. Maksudnya jika ada tamu, jika identitas tidak jelas, pasti dia dianggap musuh,” kata Supadi.

Jika sampai terjadi, pengawas terluar akan melapor ke pengawas dalam dan akan bersiap mengamankan Jenderal Sudirman untuk disembunyikan ke hutan.

Dianggap cucu

Pak Supadi bercerita jika dirinya sampai dianggap cucu oleh Jenderal Sudirman. Hal itu karena usia Pak Supadi saat itu adalah tujuh tahun atau sepantaran dengan anak sulung Sang Jenderal, Ahmad Tidarwono.

“Sewaktu simbah (Jenderal Sudirman) datang ke sini, ayah ternyata punya anak laki-laki yang kata Pak Dirman seumuran dengan putranya yang ditinggal perang mengamankan negara, Mas Tidarwono,” ujar Supadi.

Karena dianggap cucu sendiri, Pak Supadi juga bercerita jika ia beberapa kali diajak makan bersama oleh Jenderal Sudirman. Biasanya Sang Jenderal menyantap bubur kacang hijau dan beras dengan minum semacam susu putih.

“Karena saya sudah dianggap cucu, untuk pelepas rindu anaknya yang ditinggal, kadang-kadang Pak Dirman kalau sedang makan, saya dipanggil ‘habiskan sisa makanannya simbah ya nak’, bukan sisa, tapi memang disisihkan untuk saya,” kata Pak Supadi.

Pak Supadi juga menjelaskan keseharian Jenderal Sudirman selama di Pacitan yang sebagian besar adalah di dalam rumah dan rapat perang. Jika pagi, Sang Jenderal berjemur untuk mendapat kehangatan matahari karena kondisi paru-parunya tidak tahan dingin.

Perpisahan dengan Sang Jenderal

Pak Supadi juga bercerita jika masyarakat tidak hanya merasa kehilangan ketika Jenderal Sudirman hendak kembali ke Yogyakarta. Bahkan masyarakat sampai menangis melepas kepergian Sang Jenderal.

Karena kondisi sudah aman, masyarakat bisa mengantar kepulangan Jenderal Sudirman ketika tiba di desa-desa yang dilewatinya.

“Kalau saya mau tidak menangis bagaimana, kan sudah dianggap cucu,” ujar Pak Supadi.

Setelah Jenderal Sudirman wafat pada 29 Januari 1950, Pak Supadi dan ayahnya berkesempatan datang ke makam Sang Jenderal di Yogyakarta ketika mengantarkan kursi dan amben (tempat tidur) ke museum.

“Setelah sampai Jogja, saya dan ayah diajak berkunjung ke rumah Bu Dirman. Keesokan harinya, saya dan ayah karena saya dianggap cucu Pak Dirman, kami diajak berkunjung ke makam Pak Dirman. Saya juga sampai menangis di makam Mbah Dirman,” kata Pak Supadi.

https://travel.kompas.com/read/2019/03/09/171400727/pak-supadi-saksi-hidup-perjuangan-jenderal-sudirman-di-pacitan

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke