Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenal Sejarah Kota Tua Jakarta, Jantung Ibu Kota di Masa Lampau

KOMPAS.com - Kota Tua Jakarta merupakan salah satu ikon wisata ibu kota yang sarat akan nilai sejarah. Kisah sejarah Kota Tua Jakarta menarik untuk diketahui lantaran berkaitan dengan kelahiran Jakarta.

Kawasan Kota Tua Jakarta memiliki banyak destinasi wisata sejarah. Banyak bangunan bersejarah yang sudah berdiri sejak zaman dahulu serta masih kokoh hingga saat ini.

  • 13 Tempat Wisata Kota Tua Jakarta yang Sarat Sejarah   
  • 5 Spot Foto di Lapangan Banteng Jakarta, Ada Amfiteater dan Monumen

Beberapa diantaranya adalah Museum Fatahillah, Museum Bank Indonesia, Musem Bank Mandiri, Jembatan Kota Intan, Pelabuhan Sunda Kelapa, Menara Syahbandar, dan sebagainya.

Nah, mengunjungi tempat-tempat bersejarah tersebut semakin afdol jika wisatawan memahami secara singkat sejarah Kota Tua Jakarta.

Sejarah Kota Tua Jakarta

Kompas.com merangkum sejarah Kota Tua Jakarta sebagai berikut. Agar mudah memahami sejarah Kota Tua Jakarta, maka kita bisa merunutnya berdasarkan periode pendudukan.

Dion P. Sitohang dan Iwan Solihin (2011) dalam Sejarah Singkat Kota Jakarta, menyebutkan, bahwa Kota Tua Jakarta juga dikenal sebagai Kota Batavia Lama atau Oud Batavia. Kawasan ini dulunya merupakan pusat pemerintahan Batavia, dengan luas wilayah sekitar 15 hektare.

Tidak jauh dari kawasan Kota Tua Jakarta, terdapat pelabuhan Kerajaan Sunda, yakni Pelabuhan Sunda Kelapa atau Pelabuhan Sunda Kalapa yang berlokasi di muara Sungai CIliwung.

  • Cara Kunjungi Jakarta Architecture Festival 2023, Wajib Registrasi
  • Panduan Lengkap ke Jakarta Architecture Festival 2023, Cuma Sampai 30 September

Sementara, ibu kota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh selama dua hari perjalanan dari Pelabuhan Sunda Kelapa.

Pada abad ke-12, Pelabuhan Sunda Kelapa dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing dari China, Jepang, India, berlabuh di pelabuhan ini dengan membawa barang dagangan seperti porselen, kopi, sutra, kain, dan sebagainya untuk ditukar dengan rempah-rempah.

Jayakarta (1527-1619)

Pada 1527, terjadi pendudukan Sunda Kelapa oleh Fatahillah dari Kesultanan Demak. Nama Jayakarta berarti kemenangan. 

Oleh sebab itu, Hari Ulang Tahun (HUT) Jakarta ditetapkan pada 22 Juni 1527 berdasarkan pendudukan Sunda Kelapa oleh Fatahillah, yang kemudian berganti nama menjadi Jayakarta.

Selanjutnya, pemerintahan Jayakarta dipegang oleh Maulana Hasannudin dari Kesultanan Banten.

  • Panduan Lengkap ke Flona 2023, Pameran Flora dan Fauna Gratis di Jakarta
  • 6 Rekomendasi Hotel dengan Bathtub di Jakarta Barat 

Batavia (1619-1942) 

Selanjutnya, orang Belanda mulai datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16. Pada 1619, kongsi dagang Belanda, atau VOC yang dipimpin oleh Jan Pieterszoon (JP) Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan pasukan dari Kesultanan Banten.

Kemudian, Belanda mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia, yang merupakan nama leluhur bangsa Belanda yaitu Batavieren. Selama masa pemerintahan kolonial Belanda, Batavia berkembang pesat. Rancangan Kota Batavia dibuat oleh Simon Stevin, yang didesain untuk menjadi ibu kota kerajaan perdagangan raksasa dari Tanjung Harapan sampai dengan Jepang.

Kala itu, kawasan Kota Tua Jakarta merupakan pusat kota sekaligus pusat pemerintahan. Balai kota Batavia berada di bangunan Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta sekarang ini.

Sementara, bentuk Kota Batavia direncanakan sesuai dengan kebiasaan Belanda, yakni dilengkapi jalan-jalan lurus dan parit-parit. Sepeninggal JP. Coen pada 1629, perkembangan Kota Batavia semakin pesat.

Dibangun gudang, bengkel kayu dan galangan kapal, Kali Besar yang semula berkelok diubah menjadi lurus, dan sebagainya. Daerah sekitar Kali Besar dijadikan hunian elit pejabat Belanda.

Salah satunya adalah Toko Merah yang hingga kini masih berdiri kokoh. bangunan yang didirikan pada 1700-an ini, dulunya berfungsi sebagai rumah dinas Gubernur Jenderal Belanda. Sempat berganti fungsi beberapa kali, hingga akhirnya bangunan ini diambil alih warga Tionghoa yang kemudian digunakan sebagai toko, sekitar abad ke-20.

Kemunculan wabah penyakit 

Sayangnya, kejayaan Kota Batavia mulai redup saat muncul wabah penyakit, yang sekarang diduga sebagai malaria, disentri, dan kolera sekitar tahun 1732. Air di kawasan Batavia tercemar sehingga menjadi sumber penyakit bagi masyarakat.

Kondisi tersebut, diperparah dengan serentetan gempa bumi yang mengguncang Batavia. Gempa tersebut mengakibatkan longsoran gunung, yang mengotori sumber air. Tak pelak lagi, Batavia penuh dengan lumpur.

  • 6 Hotel dengan Bathtub di Jakarta, Harga di Bawah Rp 500.000
  • Itinerary Seharian Napak Tilas G30S di Menteng Jakarta Pusat

Ironisnya, bencana tersebut tidak ditanggulangi dengan baik oleh pemerintahan kolonial Belanda ketika itu, serta minimnya fasilitas kesehatan. Akibatnya, pada 9 Mei 1821, dilaporkan sebanyak 158 orang meninggal dunia akibat kolera dan tiga hari kemudian jatuh 733 korban lagi di seluruh wilayah Batavia.

Tragedi ini menjadi akhir dari kisah Batavia Lama Kota Batavia Lama atau Oud Batavia. Selanjutnya, dibentuk Batavia Baru atau Niew Batavia di tanah Weltevreden (sekarang sekitar Gambir, Jakarta Pusat). Pusat pemerintahan pun turut diboyong ke kawasan Batavia Baru tersebut.

Jakarta usai merdeka

Setelah Indonesia merdeka, nama Jakarta resmi dipakai. Selain itu, Jakarta ditetapkan sebagai ibu kota Indonesia dengan pusat pemerintahan di kawasan Istana Merdeka sekarang ini.

Guna meninggalkan warisan kolonial, Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu yang menjabat sebagai Menteri Penerangan Republik Indonesia Serikat (RIS) menegaskan, sejak 30 Desember 1949 tak ada lagi sebutan Batavia. 

Sementara itu, Kota Tua menjadi destinasi wisata sejarah yang populer di Jakarta. Sembari berekreasi, pengunjung bisa mempelajari sekaligus menyaksikan beragam saksi sejarah perkembangan Jakarta.

https://travel.kompas.com/read/2023/09/26/232139927/mengenal-sejarah-kota-tua-jakarta-jantung-ibu-kota-di-masa-lampau

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke