Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (4)

Kompas.com - 11/03/2008, 08:18 WIB

Perjalanan menuju Istaravshan  tidak mudah. Puncak Anzob and Ainy tingginya lebih dari 3.700 m dan menjadi lintasan wajib bagi semua kendaraan yang berangkat dari Dushanbe menuju Khojand, kota terbesar kedua di utara. Hanya taksi, truk besar, dan jeep yang bisa lewat sini. Harga angkutan umum paling murah 20 dolar hanya untuk jarak segini. Patokannya bukan jumlah kilometer melainkan jumlah gunung yang harus dilewati.                 “Tentu saja mahal. Kan lewat dua gunung,” kata supir taksi.

Mengapa Dushanbe harus memilih lintasan yang begitu susah dan berbahaya, naik turun gunung seperti ini, untuk mencapai kota-kota di utara? Dulu, zaman Uni Soviet, perjalanan ini bisa ditempuh dengan santai lewat kota dataran rendah Samarkand dan Jizzakh. Setelah Uni Soviet bubar dan negeri-negeri Stan bermunculan, orang Tajikistan tidak boleh lagi lewat jalan itu, sebab jalan itu masuk dalam wilayah Uzbekistan. Mau tidak mau republik miskin ini harus memperbaiki jalan naik turun puncak gunung yang berbahaya. Jalan puncak gunung ini tertutup salju di musim dingin. Dari Dushanbe kalau mau ke Khojand di utara, orang cuma punya satu pilihan – terbang.

Ada orang China di sepanjang jalan. Semuanya bekerja di proyek pembangunan jalan, jembatan, dan terowongan. Ada yang menyetir traktor, ada yang mengukur-ngukur jalan dengan alat, dan ada pula pekerja kasar yang menatah batu-batu besar. Di negara yang angka penganggurannya fantastis ini mengapa para pekerja kasar masih harus didatangkan dari China? "Tajikistan tidak punya cukup teknologi," kata seorang pria Tajik beralasan. Tetapi untuk menatah batu dengan palu pun harus dikerjakan oleh orang asing? Mungkin para kontraktor China tidak percaya dengan kerjaan orang Tajik, atau mungkin gaji buruh China lebih murah.

Orang Tajik juga sudah terbiasa dengan kehadiran para pekerja dari Tiongkok ini.  "Nihao! Nihao! Hao bu hao?" sapa penduduk desa di kaki gunung yang menyapa saya. Anak-anak di dekat pasar juga mengelilingi saya seperti tidak pernah melihat orang asing, mengamati saya lekat-lekat, dan berusaha sebisanya berkomunikasi dengan koleksi kosa kata changchung... changchung, Dzakhie Chan, kong fu, hai yaaa, dan Zhet Li.

Yang lebih terpelajar datang kepada saya mengajukan pertanyaan kelas tinggi yang membuat saya pening, "Berapa lebarnya jalan tol?" atau "Kapan terowongan selesai dibangun?"

Puncak Ainy sudah mulai bersalju. Kendaraan-kendaraan merambat pelan-pelan menyusuri jalan yang memanjat berkelok-kelok. Tinggi. Awan tebal menyelimuti puncak. Mobil kami menembus awan. Waktu kecil saya sering bertanya-tanya, ada dunia macam apa di balik awan sana. Di sini, saya menembus awan, yang berwujud titik-titik air dingin di empat penjuru. Tajikistan memang negeri di awan.

Jalan raya lewat gunung-gunung tinggi ini hampir semuanya dalam keadaan yang mengenaskan. Tajikistan yang miskin masih harus bergantung kepada China untuk memperbaiki infrastruktur mereka. Hampir tak ada produksi dan industri di negeri bergunung-gunung ini.

Namun di Istaravshan, saya melihat sebuah kebanggaan sebuah negeri mungil. Kebangaan akan kemilau sejarah dari sebuah kota kecil yang konon kabarnya sudah berusia 2.500 tahun.

 
(Bersambung)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads

Copyright 2008 - 2023 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com