Berhadap-hadapan dengan desa Tyghoz adalah desa Izzyk-nya Afghanistan. Dua kilometer ke timur adalah desa Yamg di Tajikistan berhadapan dengan desa Khandud di Afghanistan. Saya punya kenangan tersendiri tiga bulan yang lalu di seberang sana. Tak jauh dari desa Izzyk mobil yang kami tumpangi tenggelam di sungai pasir. Malam menjelang baru kami berhasil sampai di Khandud. Saudagar-saudagar Afghan yang datang bersama saya menanyakan kenapa saya tidak mendirikan salat. Agama, bagi mereka adalah nomer satu.
Di seberang sungai sini, jangankan salat, di bulan suci Ramadan ini pun orang-orang tidak ada yang berpuasa bahkan terus menenggak vodka. Sungai ini berubah menjadi sungai kecil yang bergemericik menjelang datangnya musim dingin. Tetapi ia sanggup membelah kehidupan menjadi dua alam yang sama sekali berbeda.
Keesokan paginya, Bazaarboy, keponakan Aliboy, membawa saya berjalan-jalan ke puncak bukit. Mendung menggelayut menyebarkan warna kelabu di seluruh sudut. Gunung-gunung semakin tampak angkuh dan dingin. Jalan setapak yang dipilih Aliboy memang bukan diperuntukkan untuk saya. Dengan ringan dia mendaki jalan-jalan yang nyaris tegak lurus itu, sedangkan saya harus bersusah payah minta bantuan kanan kiri.
Di puncak bukit itu ada reruntuhan benteng Yamchung, yang entah mengapa namanya seperti dari Tiongkok. Saya ingat catatan perjalanan biksu China dari zaman dinasti Tang, Hsuantsang yang mengkisahkan benteng-benteng anggun yang berdiri di puncak-puncak bukit, ketika ia melakukan perjalanan ziarah melintasi negeri-negeri di barat. Hsuantsang kemudian lebih dikenal di Indonesia sebagai biksu suci yang berpetualang bersama si Kera Sakti. Benteng Yamchung, yang reruntuhan temboknya masih tetap gagah di puncak bukit ini, sudah berusia ribuan tahun. Dari sini, sejauh mata memandang, yang nampak adalah kebesaran gunung-gunung tinggi yang mengelilingi lembah Wakhan.
Aliboy membawa saya terus mendaki, menuju sebuah pemandian yang dinamai Bibi Fatima, seperti nama putri Nabi. Mata air bersumber pada sebuah lubang yang meliuk-liuk mirip rahim wanita. Dipercaya, orang yang mandi di sini akan jadi subur dan segera punya keturunan. Ada tempat mandi untuk laki-laki, ada pula untuk wanita.
Di hari yang sangat dingin ini, tak tahu mengapa, pemandian ini ramai sekali. Serombongan pria yang katanya datang dari Ishkashim ramai-ramai menceburkan diri ke dalam air hangat yang jernih dan memancarkan warna hijau yang berasal dari batu-batuan. Pria-pria Tajik ini mandi bersama tanpa mengenakan seutas benang pun di tumbuh mereka. Tampaknya itu sudah biasa di sini. Saya mencelupkan tangan ke dalam air. Panas sekali. Orang-orang yang asyik berenang dan bermain memanjat batu-batu tebing mengajak saya masuk. Saya agak risih juga karena tidak biasa berenang tanpa celana.
Mengapa hari ini banyak orang yang berendam?
"Hari ini hari libur. Jadi kami serombongan menyewa mobil dari Ishkashim hanya untuk berenang di sini," kata salah seorang dari mereka.
Selidik punya selidik, ternyata hari ini adalah hari Idul Fitri.
Hari Idul Fitri? Ya Tuhan, bagaimana hari sepenting ini bisa terlewat begitu saja? Saya benar-benar tak ingat hari ini adalah Hari Raya. Aneh juga karena di sini semua orang beragama Islam tetapi suasana Ramadan sama sekali tidak terasa. Orang-orang tidak ada yang berpuasa, atau yang paling rajin pun maksimal hanya sembilan hari dalam sebulan. Makan siang adalah kewajiban yang tidak bisa diganggu gugat oleh bulan Ramadan sekali pun. Vodka tetap tersedia di kedai-kedai. Saya ikut makan dan minum bersama, dan sampai lupa bahwa Idul Fitri sudah datang.
Sambil asyik berendam, telanjang bulat, sekelompok laki-laki muda itu berteriak ke arah saya, "Eid Mubarak!" Selamat Idul Fitri.
(Bersambung)