Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (29)

Kompas.com - 15/04/2008, 07:38 WIB

Sekolah Birimkulov memang bukan sekolah sembarangan di Toktogul. Selain sukarelawan pengajar dari Amerika Serikat, perpustakaan sekolah ini pun penuh dengan buku-buku dari luar negeri. Buku pelajaran yang digunakan Satina juga dari Amerika, judulnya WOW – Window of the World. Anak-anak di sini memang beruntung, sudah mengenal dunia luar sejak usia sedini ini.

Sekolah ini dulunya dibantu oleh Soros Fondation, yang mendatangkan buku-buku bermutu dari luar negeri. Tetapi sejak Peace Corps menawarkan jasa sukarelawan pengajar Bahasa Inggris, Soros Fondation mengurangi dana sumbangannya.

            "Sayang sekali, Anna tahun depan sudah balik ke negaranya, dan tidak ada sukarelawan lagi yang mengajar lagi di sini," kata Satina, "saya berharap tahun berikutnya akan ada lagi orang Amerika yang mau mengajar ke Toktogul."

Pertama kali saya merasakan susahnya jadi guru. Dari pagi bersama Satina, menghadapi murid-murid yang hanya duduk diam tanpa suara, sementara kita harus berceloteh sendiri tanpa direspon, memang susah. Satina, yang sudah puluhan tahun menjadi guru, sudah sangat terbiasa dengan keadaan seperti ini. Kata-kata saktinya, "My students are too much stupid" selalu terngiang-ngiang di benak saya.

Anak-anak dari kelas dua, walaupun masih belum bisa bicara dalam Bahasa Inggris, jauh lebih aktif. Satina membantu menerjemahkan.

            "Berapa saudara yang kamu punya?" tanya seorang bocah.
            "Hanya satu," jawab saya.
            Seluruh kelas tersontak.
            "Mengapa sedikit sekali?"

Di Kyrgyzstan, apalagi di desa seperti ini, rata-rata keluarga memang punya banyak anak. Negeri ini berpenduduk hanya sekitar lima juta jiwa, bahkan tidak sampai separuhnya penduduk Jakarta. Di sini, satu keluarga dengan tujuh hingga dua belas anak sekali pun adalah hal yang biasa.

Bocah-bocah mungil Kirghiz ini menggeleng-geleng kepala, kemudian tanpa henti mengasihani orang-orang Indonesia yang sudah diprogram untuk punya dua anak saja.

            "Kasihan sekali kaum ibu di Indonesia. Tidak ada anak-anak yang membantu mencuci piring," kata seorang gadis mungil dengan pita rambut merah muda seperti telinga kelinci menjulang di atas kepalanya.

            "Bapak-bapak di sana pasti sedih sekali, karena kalau anaknya pergi sekolah, tidak ada anak yang membantunya merawat ternak," kata bocah lain yang memakai jas hitam.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com