Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (34)

Kompas.com - 22/04/2008, 08:25 WIB

Saya menginap di masjid orang Dungan. Lao Han, kakek tua penjaga masjid, punya kamar kecil di pekarangan masjid. Kemal masih punya persediaan nasi sisa kemarin, sudah dingin, yang kemudian dihangatkan di atas tungku pemanas. Nasi itu kemudian menjadi santap malam saya.

Waktu Isya, hanya ada delapan jemaah, semuanya laki-laki, yang bersembahyang di masjid. Angka ini, di sebuah negara dimana mayoritas penduduknya mengaku Muslim, tentu bukan jumlah yang menggembirakan. Dari delapan umat itu, sebagian besar berumur antara 30 hingga 60 tahun. Hanya dua yang masih remaja, dan keduanya sudah tidak bisa bahasa Dungan lagi.

Imam masjid Dungan, disebut ahong, masih berumur 30-an. Waktu sholat ia memakai surban besar, seperti punyanya imam Kirghiz. Selepas sembahyang, ia kembali mengenakan topi bulu hitam, persis orang Rusia. Jubahnya hitam tebal, tentunya sangat hangat di musim dingin ini.

Jemaah yang cuma sedikit ini, menjadikan masjid sebagai ajang interaksi yang paling mengakrabkan. Selepas sembahyang, semua duduk di kamar kecil milik Lao Han yang hangat. Bercerita tentang pengalaman sepanjang hari, politik, dan gosip-gosip di lingkungan mereka.

Malam semakin larut. Udara semakin dingin. Satu per satu jemaah meninggalkan kamar Lao Han. Hanya ada kakek tua itu dan saya. Lao Han tidak banyak bicara. Ia mengingatkan saya kepada biksu dari Shaolin - ketaatannya, gerak-geriknya yang pelan tetapi pasti, misteri dalam kesunyiannya. Dan seperti ajaran kuno di China sana, Lao Han selalu tidur sebelum larut, bangun sebelum siang.

Pukul 6 pagi, Lao Han sudah kembali lagi ke masjid. Kakek ini adalah muezzin yang bersuara merdu sekali. Tidak pakai loudspeaker, suara lembut mengalun membawa nuansa Timur Tengah. Sejak meninggalkan Afghanistan, sudah sama sekali saya tidak mendengar adzan. Apalagi di sini masjid-masjid kecil tidak memakai pengeras suara, dan kebanyakan umat Muslimnya tidak mendirikan ibadah salat.

            "Orang-orang Kirghiz itu memang tidak taat," kata Kerim, "mereka bukan saja minum-minum alkohol, tetapi juga makan babi."
Orang Dungan menamai orang Kirghiz dan Kazakh sebagai heiwazi, si bocah hitam.

            "Ini adalah zeigue, negara maling," kakek Lao Han pun menyambung, "negara ini penuh dengan pejabat yang jahat."

Korupsi di negara ini memang bukan hal yang baru. Pertikaian antar etnis pun kerap terjadi. Selain perang berdarah di dekat Jalalabad beberapa tahun silam, dimana etnis Uzbek dan Kirghiz di sana saling bantai, di Tokmok pun pernah terjadi kerusuhan serupa tanggal 24 Maret 2006 antara etnis Kirghiz dan Dungan, walaupun tidak sampai memakan korban jiwa.

Perasaan superior orang Dungan terhadap orang Kirghiz, yang dilatarbelakangi tingkat kereligiusan, mungkin berakar dari kebanggaan orang Dungan sebagai Muslim. Semua orang Dungan percaya bahwa mereka adalah buah percampuran darah antara bangsa Arab dan bangsa China. Orang Dungan memakai nama yang berasal dari Qur'an atau dari bahasa Arab. Generasi muda sudah tidak memakai nama China lagi. Sedangkan orang Kirghiz kebanyakan masih menggunakan nama tidak Islami yang berasal dari tradisi nomaden mereka.

Kaum minoritas bertahan hidup dalam pergesekan dan pentahbisan identitas. Bagi orang Dungan, bangsa minoritas di negeri Kirghiz, jawaban mereka adalah ketiongkokan dan keislaman.

(Bersambung)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com