Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (85)

Kompas.com - 02/07/2008, 09:25 WIB

Turkmenistan, seperti halnya Uzbekistan dan Kyrgyzstan, mengambil langkah ekstrim mengharamkan semua hal yang berbau-bau Soviet pada masa awal kemerdekaannya. Bahasa nasional dipromosikan dan bahasa Rusia ditanggalkan. Yang tidak bisa bahasa nasional, terutama etnis Rusia, kehilangan pekerjaan. Infrastruktur pendidikan dan ilmu pengetahuan, yang semula hanya dalam bahasa Rusia, langsung dikonversi habis-habisan ke dalam bahasa lokal, yang sebenarnya masih belum cukup siap. Akibatnya terjadi eksodus besar-besaran para ilmuwan dan teknisi Rusia. Ekonomi macet.

Kyrgyzstan, setelah mengalami beberapa kali demonstrasi besar-besaran dan kehancuran ekonomi, akhirnya mengembalikan kembali bahasa Rusia di tempat terhormat. Di Tashkent, populasi etnis Rusia tinggal orang-orang yang super kaya dan yang super miskin, karena kebanyakan kelas menengah sudah beremigrasi ke luar negeri. Turkmenistan, yang sedang berusaha mencapai zaman utopis abad emas, juga menghasilkan sebuah generasi orang-orang Rusia yang terus tertekan, terperosok kelas sosialnya, terkenang kejayaan masa-masa Soviet dulu, dan terpaksa melewatkan hari-hari dengan berat hati.

Rumah Mikail terletak di sebuah apartemen kuno tak jauh dari pusat kota. Lantainya dari kayu. Bau apek langsung menyergap ketika pintu dibuka. Anak lelakinya berwajah Asia, mungkin karena faktor genetis istri Mikail yang orang Turkmen jauh lebih kuat. Si bocah langsung sibuk menyiapkan teh tanpa gula sementara saya duduk-duduk di sebuah ruangan yang dinding-dindingnya dilapis permadani.

           "Empat puluh tahun aku hidup di sini. Aku sudah bernafas bersama Turkmenistan. Hanya satu dosaku, tak bisa bahasa Turkmen. Itu saja. Dan itulah yang menjadi sumber segala penderitaan ini," terang dia.

Diskriminasi bukan hanya dirasakan etnis minoritas macam Mikail. Istrinya, yang orang Turkmen asli, sampai sekarang masih belum bisa juga jadi pegawai negeri. Sebabnya karena ia datang dari kota Turkmenabat dan tidak dianggap sebagai warga Ashgabat penuh. Nasibnya pun berakhir sebagai pedagang sayur di pojok pasar.

Saya tenggelam dalam lembar demi lembar koleksi prangko Mikail. Prangko Turkmenistan memang indah, penuh dengan gambar-gambar warna-warni. Hampir semuanya berisi propaganda, tentang kejayaan, masa depan yang gemilang, Abad Emas yang membentang, welas asihnya Turkmenbashi, kesucian Ruhnama, dan seterusnya. Mikail juga bercerita tentang anak gadisnya yang akan menari di lapangan peringatan kemerdekaan nanti sore, memuja-muja kebesaran Turkmenbashi, Ruhnama, dan Abad Emas. Anehnya, ada sedikit nada bangga terselip di wajahnya, terlepas dari segala keluh kesahnya tentang kebijaksanaan Turkmenbashi.

Altyn Asyr adalah sebuah utopia yang dijanjikan oleh sang Turkmenbashi. Dengan cadangan minyak dan gas alam yang sangat besar, dengan penduduk hanya lima juta jiwa, dengan sifat netralitas Turkmenistan yang konon diagung-agungkan oleh seluruh masyarakat dunia, Turkmenbashi menjanjikan rakyatnya untuk mencapai angka GDP per kapita sama dengan Kuwait.

Alih-alih menjadi Kuwait-nya Asia Tengah, Turkmenistan malah menempuh jalan isolasi total yang mirip dengan Korea Utara. Satu dekade lebih berselang, gaji rata-rata penduduk Ashgabat masih berkutat di angka 50 dolar. Sudah bukan berita lagi kalau gaji pegawai negeri tidak turun berbulan-bulan. Turkmenbashi bahkan pernah menghapuskan uang pensiun, yang menyebabkan para orang tua malang terkatung-katung hidupnya.

Bersamaan dengan dimulainya Abad Emas, Turkmenistan semakin jauh dari dunia normal. Selain nama hari dan bulan yang aneh-aneh, Turkmenbashi juga mengeluarkan dekrit-dekrit ajaib, seperti anjuran pada generasi muda untuk mengunyah tulang demi kesehatan gigi, larangan bagi pria untuk berambut panjang dan berjenggot, larangan pertunjukan balet dan opera, larangan kepada pembaca berita untuk memakai kosmetik, penutupan rumah sakit dan perpustakaan di desa-desa, dan segala proyek-proyek pembangunan fantastis seperti Turkmen Disneyland, istana es di tengah padang pasir, patung emas yang berputar mengikuti matahari, gedung-gedung megah berarsitektur Eropa, sampai air mancur terbesar di dunia.

Saya berdiri dengan penuh takjub di hadapan monumen Arch of Neutrality dengan patung emas raksasa Turkmenbashi di puncaknya, salah satu mahakarya sang Presiden yang mengantar rakyatnya ke depan pintu gerbang Abad Emas.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com