Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (83): Pak Kumis

Kompas.com - 26/11/2008, 07:29 WIB

Ada lima atau enam orang baba berkumis sampai ke mata kaki yang ikut dalam pertandingan ini. Masing-masing menunjukkan kemampuannya. Seorang baba bisa bermain seruling dengan hidung. Yang lain, saking panjangnya kumisnya, menatap tajam dengan gulungan kumis di kedua belah pipi.

Kumis bukan sekadar penghias wajah. Kumis yang tangguh bisa menarik mobil atau membuka botol. Kumis dirawat dengan cinta kasih, dikeramas dengan minyak ghee, dimandi susu, dilembabkan dengan kotoran unta.

Barisan ‘Pak Kumis’ ini kemudian juga menjadi ajang kegembiraan turis yang belum pernah menyaksikan ‘keajaiban’ India macam ini. Mereka berpose di samping masing-masing Pak Kumis, melilitkan kumis ke leher atau menyematkan di atas bibir. Saya sempat terpikir untuk memelihara kumis sepanjang mereka, tetapi langsung undur diri begitu tahu butuh waktu sedikitnya dua puluh tahun untuk mencapai hasil seperti itu.

Kartik Purnima adalah perayaan penuh suka cita. Bukan hanya yang aneh-aneh dari padang gurun, lapangan berdebu ini juga dipenuhi oleh segala macam manusia dari antah berantah – tukang hipnotis, penjinak kobra, pelatih monyet, pendongeng, penari, penyanyi, pembawa kendi, dan seterusnya.

Bulan purnama menggantikan mentari di malam yang membiru. Lapangan tetap ramai oleh kemeriahan pasar malam. Sementara itu, di kuil kuno Rangji, sang bulan bersinar di antara atap kuil yang menjulang.

Rajasthan Tourism Board, sekali lagi, mengadakan pentas tarian adat untuk para turis di kawasan kuil. Ada berbagai macam tarian aneh, yang menjadi klise India. Sebut saja tari api, seorang pria telanjang dada yang menelan api bulat-bulat tanpa rasa panas. Atau dua gadis Rajasthan bergelang hidung besar, berbaju merah membara, berdandan mirip boneka India, menyangga kendi besar di atas kepala, berlenggak-lenggok dalam berbagai posisi tanpa takut kendi tergelincir dari kepala. Ada pula tari merak – dengan bulu merak sungguhan, juga tarian suku pengembara adivasi yang berbau tribal.

Acara pentas budaya ini dijadwal hingga pukul sepuluh malam, tetapi setengah jam sebelumnya panitia sudah kehabisan acara. Penari terakhir sudah habis tariannya, hendak turun dari pentas. Tetapi ada sebuah tangan di belakang layar melambai-lambai, menyuruhnya untuk terus menari. Alhasil, hanya gerakan kacau yang monoton untuk mengisi waktu. Setelah sepuluh menit bertahan, gadis cantik itu sudah tak kuat lagi.

Pertunjukan bubar.

Dengan segala macam intervensi Rajasthan Tourism Board, festival Pushkar Mela memang meriah, penuh warna, dan memukau mata. Tetapi, semua kesannya begitu artifisial, dibuat untuk menyenangkan hati para pelancong asing yang mencari misteri India. Saya butuh imajinasi yang lebih kuat untuk membayangkan bagaimana merayakan Kartik Purnima bersama ribuan unta di gurun Pushkar puluhan tahun silam. Zaman itu sudah lewat, dan mungkin tak akan kembali lagi.


(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com