Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (86): Perang Omlet (2)

Kompas.com - 01/12/2008, 08:00 WIB

“Pemilik warung ini benar-benar harus diajar, Taiwan adalah bagian dari China!!!” Penulisnya adalah seorang turis China yang merasa semangat nasionalismenya terinjak-injak ketika ditanya oleh pemilik kios, “Kamu dari China atau dari Taiwan?”

Apalah artinya masalah Taiwan dan China bagi pemilik warung telur dadar di sebuah kota kecil India ini?

Tetapi bagi turis China dan Taiwan ini, masalah kebangsaan mereka adalah segala-galanya. Buku testimoni warung omelet ini malah menjadi ajang adu debat lewat tulisan, dan saya hanya bisa membaca sambil menyusuri jejak perselisihan turis kedua negara.

Turis Taiwan membalas komentar berbahasa Mandarin itu dengan tulisan bahasa Inggris ukuran besar, “Taiwan is always a free individual!!! Taiwan senantiasa adalah negara merdeka!!!”

Percekcokan tulisan di atas buku itu semakin ramai. Turis lain dari China, yang entah mengunjungi tempat ini berapa hari atau berapa bulan setelah komentar orang Taiwan itu, menanggapi dengan umpatan bahwa kemerdekaan Taiwan sekadar omong kosong belaka. Komentarnya panjang lebar, dilanjutkan dengan ceramah beberapa baris tentang sejarah Taiwan dan berjuta alasan kenapa Taiwan harus menjadi bagian dari China.

Turis Taiwan lainnya, seorang nasionalis yang tidak terima dengan penjelasan sejarah itu, segera membalas dengan makian lainnya, “Dasar orang daratan jelek, brengsek!”

Betapa tidak masuk akalnya, buku warung kaki lima bisa menjadi ajang debat politik dan sejarah kaum nasionalis dari negara yang letaknya ribuan kilometer dari sini. Bagaimana omelet sederhana bisa menjadi begitu rumit penuh intrik dan dramatisasi sampai menjadi fenomena antik yang belum tentu ada di mana pun?

Buku testimoni adalah cara handal untuk menggaet konsumen. Semua losmen dan penginapan punya setumpuk buku tamu yang selalu ditunjukkan dengan bangga, untuk meyakinkan calon konsumen. Persaingan berebut duit turis di kota ini begitu ketat. Bahkan warung omelet pun punya buku tamu, koleksi foto dan kartu pos, kartu nama mengkilat, sampai plakat besar mencatut nama Lonely Planet. Dan jangan heran, penarik rickshaw di kota Jodhpur pun punya bukut testimoni yang mencatat kepuasan para penumpang.

Pemilik warung tentu saja meminta saya menulis juga. Sebenarnya turis yang makan omelet di sini membayarnya tidak hanya pakai uang, tetapi juga beberapa baris kata-kata manis di buku testimoni.

Dalam bahasa Indonesia saya menulis, omeletnya lumayan, tetapi akan jadi lebih baik lagi kalau saya tidak dipaksa menulis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com