Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (96): Dunia Tikus

Kompas.com - 16/12/2008, 08:52 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

India, negeri raksasa dengan semilyar penduduk, beratus bahasa, lusinan agama yang memuja berlaksa dewa. Segala macam budaya, pemikiran, keajaiban berpadu, berbenturan, melebur menjadi satu. Dan salah satu hasilnya – kuil pemujaan tikus.

Alkisah hidup seorang suci atau dewi bernama Shri Karni Mata, Sang Bunda Karni, berasal dari kasta Charan. Karni Mata melakukan banyak mukjizat dan dipercaya sebagai titisan Dewi Durga, Sang Dewi Perang. Suatu hari, seorang bocah kerabatnya meninggal dunia. Karni Mata langsung bertemu dengan Yama, Dewa Kematian, untuk memintanya menghidupkan kembali nyawa anak yang malang itu. Yama menolak karena roh bocah itu sudah menitis. Karni Mata naik pitam. Ia bersumpah bahwa untuk seterusnya roh kasta Charan akan menitis sebagai tikus dan lepas dari campur tangan Yama.

Itulah asal muasal 20.000-an ekor tikus hitam yang berlarian ke sana ke mari di chua mandir, kuil tikus. Kuil Karni Mata di desa padang pasir Deshnok, 20 kilometer di selatan kota Bikaner di tepi barat Rajasthan. Dari luar mandir (kuil) ini nampak biasa saja. Tetapi di balik pintu gerbang tinggi berwarna emas itu, ada pemujaan yang tiada duanya di dunia – pemujaan tikus.

          “Ini bukan tikus biasa,” kata penjaga kuil, “ribuan kaba (tikus) yang ada di sini adalah titisan dewa. Semuanya adalah makhluk suci yang harus dihormati.”

Dalam agama Hindu, dewa bisa menitis dalam bentuk makhluk hidup apa pun, mulai dari sapi, ikan, burung, anjing, sampai tikus. Tikus adalah vahana atau kendaraan dewa Ganesh (Ganesha), putra Dewa Syiwa. Sebagai vahana, tikus pun mendapat tempat terhormat dalam pemujaan.

Sejak pagi, peziarah tak berhenti mengalir memasuki kuil ini. Memasuki kuil Hindu, kita harus melepas kasut. Lantai pualam kotak-kotak seperti papan catur menghampar. Saya melangkah perlahan, takut-takut. Kaki saya lengket di lantai yang sudah berlimpah air liur dan kencing tikus.  Hewan mungil, hitam, berbulu, muncul dari segala sudut dan mengisi segala penjuru. Mereka berlarian penuh semangat, berlompatan, beristirahat, makan remah kue, minum susu. Malah ada yang bergaya bak fotomodel di hadapan para pemuja itu. Tak sedikit yang berlompatan ke arah orang-orang yang beribadah.

Seorang gadis kecil menangis ketakutan ketika tikus-tikus menggerayangi kakinya. Ibunya yang berkerudung selendang merah menyala menenangkan, “Jangan takut, meri jan - sayangku, jangan takut pada Durga!”

Di antara semua tikus di dunia, mungkin tikus-tikus dari kuil Karni Mata inilah yang paling beruntung. Umat yang beribadah di sini membawa kue-kue, nasi, manisan, susu, dan berbagai makanan lainnya sebagai prasad atau sesaji. Prasad ini kemudian dipersembahkan kepada tikus setelah diberi jampi-jampi oleh pandit (pandita).

Susu yang dibawa umat mengalir tanpa henti mengisi bak besar dari kaleng. Tikus hitam berbaris rapi mengelilingi bak itu, menghisap ‘kolam’ susu. Sehabis kenyang, mereka berlarian kembali. Tempat yang kosong segera diisi tikus lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com