Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kini Semakin Meredup

Kompas.com - 20/12/2008, 01:25 WIB

Pada hari Selasa, 8 September 1981, kompleks Api Abadi Mrapen di Desa Manggarmas, Kecamatan Godong, sekitar 20 kilometer sebelah barat pusat pemerintahan Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, penuh sesak dijejali tamu. Dari kalangan tokoh, tampak Sultan Hamengku Buwono IX selaku Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia dan Gubernur Jawa Tengah Soepardjo Roestam.

Sekitar 15 hari sebelumnya, kompleks Mrapen dipugar siang malam, yang melibatkan 49 tenaga kerja dan sembilan di antaranya khusus didatangkan dari Salatiga. Sasaran utama pemugaran di bagian pendopo berbentuk joglo berukuran 10 x 20 meter, cungkup tempat menyimpan batu bobot. Pemugaran juga dilakukan pada pintu gerbang yang dibangun dengan model gapura dari bahan batu hitam berukir, jalan masuk diaspal mulus sehingga wajah Mrapen pada Selasa, 8 September 1981, itu berubah dari pucat pasi menjadi semringah.

Hari itu , Sultan Hamengku Buwono IX mengambil api dari Mrapen secara bertahap menggunakan obor, yang kemudian diserahkan kepada Wakil Ketua Umum KONI Pusat Surono, disaksikan Soepardjo Roestam.

Obor itu kemudian secara estafet dibawa ke Jakarta untuk diabadikan pada pembukaan hingga penutupan Pekan Olahraga Nasional (PON) X, setelah terlebih dahulu melintasi lima provinsi di Jawa, dengan menempuh perjalanan sepanjang 1.376 kilometer.

Kamis, 25 September 2008, atau 27 tahun berlalu, wajah Mrapen tidak lagi ”semringah”, melainkan ”memelas” sekali. Papan petunjuk ukuran cukup besar yang terpasang di seberang tepi jalan raya depan pintu gerbang nyaris tidak terbaca.

Meski pintu gerbang masih tampak kokoh, atap joglo tampak reyot. Begitu pula loket penjualan karcis tanda masuk serta jalan dari pintu gerbang hingga loket tampak bopeng di sana-sini.

Memasuki kompleks Mrapen yang luasnya 6.666 meter persegi, ada empat lokasi warung aneka minuman, mi instan, tiga rumah pendopo joglo yang kusam, lokasi parkir mobil dan motor berpaving penuh aneka dedaunan kering, sebuah ruangan kecil tempat penjualan buku dalam kondisi tertutup.

Batu seberat 20 kilogram yang konon peninggalan Sunan Kalijaga yang dimasukkan dalam lemari kaca terkunci dan dinaungi ”rumah” joglo. Di depannya terdapat dua gundukan batu yang berfungsi menutupi sumber api. Lalu terlihat monumen pengambilan api Ganefo I (1 November 1963), monumen pengambilan api PON X (8 September 1981), dan monumen pengambilan api PON XIV (23 Agustus 1996), dan Sendang Dudo. ”Ya, itulah kondisi riilnya karena kami tidak punya dana untuk merenovasi dan mengembangkan menjadi sebuah tempat wisata. Kami tidak lagi memungut retribusi, tetapi tidak menolak ketika ada tamu yang memberikan bantuan,” tutur Rubiatno (40), anak bungsu atau anak ketujuh dari pasangan Supradi dengan Parminah.

Pasangan ini merupakan juru kunci Mrapen yang keenam, keturunan Demang Singodirono, juru kunci pertama. Supradi meninggal 29 Juni 2005 dan Parminah 25 Agustus 2000. ”Sejak 2004, kami mengambil alih kembali pengelolaan Mrapen dari Dinas Pariwisata Kabupaten Grobogan yang selama ini menangani dengan sistem bagi hasil. Namun, karena tidak transparan dan kami merasa dirugikan, sejak 2004 kami tangani sendiri,” tutur Rubiatno.

Penanganan Rubiatno beserta enam saudaranya (satu di antaranya, anak tertua, Moh Khodir, meninggal) ternyata tidak berjalan mulus. Selain keterbatasan dana, pengetahuan di bidang wisata pun belum ”mumpuni”. Ia hanya mengandalkan hasil penjualan buku setebal 19 halaman Menyingkap Peninggalan Sunan Kalijaga di Mrapen seharga Rp 6.000 per buku yang ia tulis sendiri. Ia juga berjualan makanan ringan dan minuman serta bantuan pihak ketiga, seperti panitia hari Waisak.

”Akhirnya kami sepakat untuk menjual seluruh kompleks Mrapen dengan harga Rp 2,5 miliar, tetapi sampai sekarang belum ada yang menawar,” tambah Rubiatno.

Ketika Kompas bertugas meliput pengambilan api abadi di kompleks Api Abadi Mrapen untuk perhelatan PON 8 September 1981, nyala api di Mrapen masih cukup besar. Namun, saat kembali untuk memotret Mrapen pada Kamis (25/9), sama sekali tidak terlihat semburan api. ”Mesti dipancing dahulu dengan kertas, Pak. Memang apinya tidak sebesar 27 tahun lalu. Sejak 1992 nyala api semakin mengecil. Kami berusaha mengembalikan seperti semula, tetapi belum berhasil,” tutur Rubiatno.

Menurut dia, penyebab mengecilnya nyala api tersebut, antara lain, karena banyak pohon di seputar Mrapen yang telah lapuk dan bertumbangan sehingga tidak bisa menyimpan air. Selain itu, banyak warga yang tinggal di radius 1 kilometer dari Mrapen yang sengaja melakukan pengeboran untuk memperoleh gas secara gratis dan digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, yaitu memasak.

”Tertutupnya pori-pori gas dari lapisan tanah membuat semakin menipisnya cadangan gas di seputar Mrapen,” ungkap Rubiatno. (Nathanael Suprapto)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com