Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (124): Mehman

Kompas.com - 23/01/2009, 07:25 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]


          "Aap hamare mehman hai. Anda adalah tamu kami," kata seorang sopir truk dari Karimabad, yang - selain menolak menerima ongkos -  menawari saya sekotak biskuit dan sekaleng minuman. Saya hampir tak bisa berkata-kata menerima ketulusan persahabatan ini.

Jika Anda menjelajah Pakistan, ada satu hal yang selalu hadir: keramahtamahan.  Dalam bahasa Urdu disebut mehmannavazi. Tak peduli betapa miskinnya orang-orang di negeri ini, bagaimana pun tingkat pendidikan dan latar belakang sosialnya, semuanya seakan berlomba menawarkan yang terbaik untuk para tamu.

Mehman, sebuah konsep yang melekat dalam sanubari penduduk setempat. Begitu kuatnya, sampai saya jadi malu sendiri. Tuan rumah tak makan tak mengapa, asalkan tamu dijamu dengan limpahan makanan mewah. Tak ada uang tak mengapa, asalkan sang tamu tetap merasa nyaman. Menggigil kedinginan bukan masalah, asalkan sang tamu tetap hangat dan lelap.

Dari Chapursan kembali ke Karimabad, saya harus melewati Kota Sost di perbatasan Pakistan-Cina. Harga karcis angkot Sost-Karimabad cuma 100 Rupee, sekitar 15 ribu. Tidak mahal. Tapi saya memutuskan berjalan kaki agar lebih menikmati keindahan lembah-lembah dan barisan gunung Karakoram. Kalau sudah capek, sesekali saya menumpang mobil yang melintas.

Hari ini matahari bersinar cerah. Lembah tanpa sinar mentari di Chapursan menjadi kenangan. Barisan pegunungan Gojal menampakkan keagungan yang langsung meresap ke relung hati. Jarak ke Karimabad sekitar 90 kilometer, sungguh indah kalau dinikmati secara perlahan. Setiap langkah adalah ucapan syukur terhadap rahmat Tuhan ke muka bumi. Setiap langkah adalah kekaguman akan ciptaannya.

Saya sudah berjalan sekitar empat kilometer dari Sost, ketika sebuah mobil Volvo berhenti, menawari saya untuk menumpang. Pengemudi dan penumpangnya berasal dari Kholistan, termasuk daerah korban bencana.

          “Berjanjilah untuk datang ke Kholistan. Di sana kami membutuhkan banyak sekali sukarelawan,” kata sopir berjenggot lebat, berkaca mata hitam, berselempang selimut, berjubah dan bertopi pakkol itu.

Penampilan orang etnis Pathan memang biasanya lebih sangar. Pathan adalah minoritas di Pakistan tetapi mayoritas di Afghanistan. Orang-orang Kholistan ini tidak menyetir sampai Pasu, desa tujuan saya berikutnya.

          “Jalan sajalah,” kata sopir itu, “Pasu sudah dekat.”

Walaupun matahari bersinar cerah dan langit biru bersih, berjalan di tengah gunung-gunung raksasa ini sungguh dingin rasanya. Pegunungan ini terlalu tinggi sehingga sinar mentari bahkan tak mampu menyentuh jalan raya di dasar lembah. Saya berjalan dalam dinginnya bayang-bayang. Angin juga menderu kencang. Saya semakin merasa sebagai makhluk kecil yang merayap di permukaan bumi yang demikian sempurna penciptaannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com