Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (127): Dusun Mati

Kompas.com - 28/01/2009, 08:19 WIB

          “Itulah sebabnya orang Ismaili lebih berpendidikan,” kata seorang penduduk desa menepuk dadanya dengan bangga, “Sembilan puluh sembilan persen orang Ismaili bisa baca tulis. Sedangkan Muslim lainnya di Pakistan, buta hurufnya sampai 60 persen, terutama perempuan.”

          “Lihatlah negara ini. Kita memang perlu komunisme di sini!” kata seorang pemilik toko di Karimabad.

Dia adalah satu-satunya anggota partai komunis di seluruh dusun, memuja China sang tetangga raksasa dan menghujat politisasi agama di Pakistan. Sudah berulang kali ia pergi ke Kashgar, kota kuno Uyghur di China dekat perbatasan Pakistan. Setiap kali ia melihat negeri China, semakin bertambah cintanya pada komunisme. Pria berkumis ini dengan bangga mengibarkan bendera merah ukuran besar, lambang partainya.

          “Pakistan sedang mundur. Kita perlu lebih banyak komunis di sini.”

Beranikah ia bicara lantang tentang komunisme di luar? Tidak terlalu. Hanya dengan saya yang orang asing a merasa nyaman untuk menumpahkan segala isi hatinya, kemarahannya, cita-cita dan impiannya. Lenin dipuja, Mao disanjung, Uyghur dan Arab dicela. Tetapi itu hanya menjadi gosip politik pengisi jenuh di kala dingin menggigit tulang.

Sementara pria ini dengan semangat berkobar-kobar berceramah tentang semangat komunisme, di luar sana, bocah kecil asyik menghangatkan diri di perapian pinggir jalan. Mulutnya mengunyah permen. Saya terkejut melihat bungkusnya. Ada gambar Osama ben Laden berpidato. Merek permennya juga “OSAMA”. Entah bagaimana rasanya.

Saya meneruskan mendaki, menuju puncak Sarang Elang di atas desa Dhuikar. Saya berjalan bersama Hussain si tukang masak dan Karim, kawannya yang baru datang dari Karachi. Di sini, semakin ke atas salju semakin tebal. Jalan licin oleh es yang mengkristal. Penginapan yang ramai oleh pendaki asing di musim panas, kini menjadi rumah hantu. Rumah-rumah penduduk pun kosong. Desa ini tak bernyawa, hanya rumah hantu dan sawah ladang mati yang ditinggalkan begitu saja, tertimbun salju tebal. Angin berhembus kencang, suaranya menderu seram.

Sarang Elang sama sekali tak berpenghuni di musim dingin. Penduduknya semua mengungsi ke desa-desa di bawah yang lebih hangat. Di sini tak ada air, listrik, makanan. Rumah-rumah ditinggalkan begitu saja, tetapi tak ada pencuri.

          “Walaupun tak ada pemiliknya,” kata Hussain, “kita tak berani untuk melintas pagar tanpa ijin. Memang tak ada orang yang melihat, tetapi Tuhan selalu melihat apa yang kita lakukan. Tobah. Tobah.”

Saya menyesal mengusulkan untuk berteduh di salah satu rumah karena salju mulai deras mengguyur.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com