Ayahnya kemudian memimpin rombongan berbaris ke halaman. Di sana, para tetangga sudah ramai mengelilingi lapangan. Trompet dan genderang menyambut. Bunyi petasan meledak tanpa henti.
Dengan mengepakkan tangan, sang ayah dikuti pengantin dan belasan pria lainnya berbaris memutari lingkaran. Kaki diangkat tinggi-tinggi, menghentak. Tangan mengepak patah-patah. Duar.... petasan kecil meledak di dekat kaki mereka.
Kerabat yang tidak ikut menari menyematkan lembaran uang ke lipatan topi dan tangan para penari. Ayah pengantin, yang sudah bungkuk dan berjubah kebesaran seperti halnya pengantin, menerima paling banyak uang dari kerabat. Acara pernikahan ini bertabur ratusan lembaran Rupee.
Kaum wanita dan anak-anak menonton di pinggir. Di Karimabad, karena pengaruh agama Ismaili yang moderat, penonton wanita bercampur dengan kaum pria. Walaupun mereka tidak menari, tetapi masih boleh menonton. Beberapa dari mereka malah tidak berkerudung, hanya bertopi sulaman warna-warni saja. Saya dengar, di bagian lain Pakistan, kaum wanita dipisahkan sama sekali dari kaum prianya.
Acara tamasha berlangsung setengah jam. Pengantin dan keluarganya menikmati sajian tarian dari para tamu. Penonton wanita, dalam harmoni berbagai macam warna pakaian dan kerudung, hanya tertawa dan berbisik-bisik sambil menutup mulut mereka.
Para pemusik bangkit, mulai perjalan. Pengantin, ayahnya, kakak adiknya, turut di belakang, berbaris rapi. Puluhan pria lainnya juga mengikuti. Saya teringat dongeng peniup seruling yang mengusir tikus dari desa. Pemandangan ini mirip sekali. Seketika, lapangan yang semula ramai oleh manusia langsung kosong seketika. Barisan panjang pengiring pengantin mengular, meliuk-liuk menyusuri jalan setapak di antara rumah-rumah batu Karimabad.
Dari rumah-rumah batu itu bermunculan berbagai jenis kepala yang penasaran melihat keramaian yang gegap gempita ini. Ada gadis-gadis yan sampai memanjat atap rumah mereka. Ada barisan ibu-ibu yang berjongkok di atas pagar batu. Bunyi petasan meledak bersahut-sahutan. Bendera kecil berbentuk segitiga bertuliskan “Shaadi Mubarak – Selamat Menikah”, berkibar-kibar menghias langit biru. Genderang terus bertalu. Nada seruling mengalun tinggi rendah. Gunung-gunung salju mulai menampakkan wajahnya yang diselimuti selimut awan tipis.
Kami siap berangkat ke Hassanabad. Rombongan barat kami siap memboyong pulang sang putri. Ratusan penduduk Karimabad, mulai dari tanah lapang hingga ke atas pagar dan atap rumah, menaruh harapan yang sama.
Mereka seolah berteriak, “Bawalah pulang si pengantin! Bawalah pulang si pengantin!”
(Bersambung)
_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!